Riba dan Bunga Bank

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maslah Pada mulanya riba merupakan suatu tradisi bangsa Arab pada jual beli maupun pinjaman dimana pembeli atau penjual, yang meminjam atau yang memeberi pinjaman suatu barang atau jasa dipungut atau memungut nilai yang jauh lebih dari semula, yakni tambahan (persenan) yang dirasakan memberatkan. Namun setelah Islam datang, maka tradisi atau praktek seperti ini tidak lagi diperbolehkan, dimana oleh Allah SWT menegaskan dengan mengharamkannya dalam Al-Qur’an (baca ; ayat dan hadist yang melarang riba), bahkan oleh Allah dan RasulNya akan memusuhi dan memeranginya apabila tetap melanggarnya, yang demikian itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dan juga kebaikan umat manusia. B. Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian riba dan perbedaannya dengan bunga bank? 2. Apa saja jenis atau macam-macam riba? 3. Bagaimana Al-Qur’an dan Hadits memandang riba? 4.Bagaimana hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum mendirikan bank Islam? C. M...

Pemeriksaan Perkara Di Depan Pengadilan


BAB. I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum acara perdata adalah rangkaian-rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Perkara perdata yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan (damai), tidak boleh diselesaikan dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting) tetapi harus diselesaikan melalui pengadilan. Pihak yg merasa dirugikan hak perdatanya dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya, yakni dengan menyampaikan gugatan terhadap  pihak dirasa merugikan.
B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana tahap-tahap pemeriksaan perkara di depan pengadilan ?
C.    Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetagui tahap-tahap pemeriksaan perkara di depan pengadilan
D.    Manfaat Penulisan
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, memperkaya khasanah perpustakaan serta menambah wawasan bagi pembaca maupun penulisnya.


BAB. II
PEMBAHASAN
Pemeriksaan Perkara Di Depan Pengadilan

A.    Penentuan hari sidamg dan Pemanggilan Para Pihak Dalam Sidang Pengadilan Perdata
Setelah Ketua Pengadilan Negeri (Ketua PN) menerima berkas perkara yang didaftarkan penggugat dari panitera, dan Ketua PN menunjuk majelis hakim yang menyidangkan perkara, selanjutnya majelis hakim menetapkan hari sidang. Penetapan hari sidang tersebut dilakukan dengan “surat penetapan”, yang di dalamnya juga mencantumkan perintah kepada panitera atau juru sita memanggil para pihak agar hadir di depan sidang pengadilan pada waktu yang telah ditentukan itu.  Hal ini diatur dalam pasal 121 ayat (1) HIR – pemanggilan itu juga meliputi perintah agar para pihak menghadirkan saksi-saksi.
Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita pengadilan sesuai kompetensi relatif juru sita yang bersangkutan. Ruang lingkup kempetensi relatif juru sita pengadilan mengikuti kompetensi relatif PN yang bersangkutan, sehingga jika pemanggilan para pihak dilakukan di luar jangkauan kompetensi relatifnya, juru sita melakukan pendelegasian pemanggilan kepada juru sita di wilayah hukum pengadilan dimana pihak yang dipanggil bertempat tinggal. Jika pemanggilan dilakukan oleh juru sita diluar kompetensi relatifnya, maka pemanggilan tersebut dianggap tidak sah karena pemanggilan dilakukan oleh juru sita yang tidak berwenang.
·         ­Bentuk Pemanggilan
Pemanggilan para pihak agar hadir pada sidang yang telah ditentukan dibuat dalam bentuk surat tertulis yang lazim juga disebut relaas panggilan. Pemanggilan secara lisan dianggap tidak sah, demikian menurut pasal 390 HIR. Surat panggilan tersebut berisi:
1.      Nama yang dipanggil.
2.      Hari, jam, dan tempat sidang.
3.      Membawa saksi-saksi yang diperlukan.
4.      Membawa surat-surat yang hendak digunakan.
5.      Penegasan dapat menjawab gugatan dengan surat.
Syarat-syarat tersebut bersifat akumulatif dan bukannya alternatif, sehingga jika salah satu tidak terpenuhi maka panggilan tidak sah. Demikian pula syarat-syarat tersebut bersifat memaksa (imperatif), dan bukannya fakultatif. Menurut Yahya Harahap, syarat pertama dan syarat kedua itu bersifat mutlak harus ada, sedangkan syarat selebihnya dapat ditolerir, dalam arti tidak serta merta dapat dinyatakan tidak sah.
·         Tata Cara Pemanggilan Yang Sah
Jika tergugat telah diketahui tempat tinggal atau kediamannya, surat panggilan diajukan kepada tergugat sendiri secara langsung (in person). Istilah in person dapat diperluas lagi sampai meliputi keluarga tergugat dalam garis lurus ke atas dan kebawah (orang tua dan anak), serta termasuk istri atau suami. Perluasan pengertian in person tersebut dilakukan jika tergugat diketahui tempat tinggal atau kediamannya tapi tidak berada di tempat.
Jika tempat tinggal dan kediaman tergugat diketahui tapi ia tidak berada di tempat dan begitu juga keluarganya, surat panggilan itu disampaikan kepada kepala desa setempat dengan disertai perintah agar kepala desa tersebut menyampaikan panggilan itu kepada tergugat. Jika juru sita tidak menemui tergugat atau keluarganya di tempat tinggal atau kediamannya, dan menurut kepala desa setempat tergugat telah meninggalkan tempat itu dan tidak menyebutkan alamat baru, maka surat panggilan disampaikan kepada bupati atau wali kota tempat tinggal atau kediaman tergugat. Bupati atau walikota kemudian mengumumkan surat juru sita itu dengan menempelkannya di pintu ruang sidang pengadilan.
Pemanggilan kepada tergugat yang berada di luar negeri dilakukan jika tempat tinggal atau kediaman tergugat diketahui, tapi tempat tinggal itu berada di luar negeri. Surat panggilan itu kemudian disampaikan melalui jalur diplomatik, misalnya Deplu, kedutaan atau konsulat. Sebaliknya, jika tempat tinggal tergugat di luar negeri tidak diketahui, maka pemanggilan dilakukan secara umum – di media cetak. Pemanggilan terhadap orang yang telah meninggal dilakukan kepada ahli waris tergugat, yaitu jika tempat tinggal ahli warisnya itu  diketahui. Jika ahli waris tidak didiketahui, pemanggilan disampaikan melalui kepala desa tempat tinggal almarhum, dan kepala desa menyampaikannya kepada ahli waris.
·         Jangka Waktu Antara Pemanggilan dan Hari Sidang
Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang didasarkan pada jarak antara tempat tinggal atau kediaman tergugat dengan pengadilan. Jika jaraknya dekat waktu pemanggilan 8 hari, jika jaraknya agak jauh waktu pemanggilan 14 hari, jika jaraknya jauh waktu pemanggilan 20 hari. Dalam keadaan mendesak, jangka waktu tersebut tidak boleh kurang dari 3 hari. Jika tergugat terdiri dari beberapa orang, maka patokan jangka waktu diambil berdasarkan jarak tempat tinggal tergugat yang terjauh.
·         Jika Pemanggilan Batal, Juru Sita dapat Dihukum.
Jika suatu panggilan batal karena disebabkan oleh juru sita, baik sengaja maupun lalai, juru sita dapat dihukum untuk membayar biaya panggilan dan acara yang batal. Selain itu, Juru Sita juga dapat dihukum mengganti kerugian akibat pembatalan itu berdasarkan gugatan Perbuatan melawan Hukum (PMH) pasal 1365 KUHPerdata.

B.     Sita Jaminan
·         Pengertian Sita Jaminan
Pengertian sita jaminan atau conservatoir beslag diatur dalam Pasal 227 ayat (1) HIR, Pasal 261 ayat (1) RBG atau Pasal 720 Rv,24 yang secara yuridis merupakan upaya hukum yang diambil oleh pengadilan dengan menyita barang debitur sebagai tindakan yang mendahului pemeriksaan pokok perkara selama belum dijatuhkan putusan dalam perkara tersebut.
Dengan demikian sita jaminan dapat dilakukan:
1. Sebelum pengadilan memeriksa pokok perkara; atau
2. Pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan, sebelum Hakim Ketua (pengadilan) menjatuhkan putusan.
Dari ketentuan Pasal 227 HIR atau Pasal 261 RBG, ada beberapa makna yang terkandung dalam lembaga sita jaminan, seperti yang akan diuraikan di bawah ini :
1.      Sita Jaminan merupakan tindakan hukum eksepsional
Tindakan sita jaminan merupakan upaya hukum dan tindakan hukum "pengecualian". Bahwa tidak selalu suatu proses pemeriksaan perkara harus diikuti dengan tindakan sita jaminan dan sebagai upaya untuk menjamin hak-hak penggugat, andaikata gugatan penggugat dikabulkan karena dimenangkan, maka akan lebih pasti bahwa putusannya itu dapat dilaksanakan dan ia dapat menikmati kemenangannya tersebut.
Oleh karena alasan yang eksepsional itulah, maka penerapannya haruslah:
a.       Secara bijaksana Majelis Hakim (pengadilan) mempertimbangkan secara hati-hati disertai dasar alasan yang kuat serta didukung pula oleh fakta-fakta yang mendasar.
b.      Kebijaksanaan mengabulkan sita jaminan, sejak semula didasarkan oleh adanya bukti yang kuat tentang akan dikabulkannya gugatan penggugat.
Sifat tindakan hukum yang eksepsional tersebut, diberikan oleh undang-undang untuk mengabulkan sita jaminan yang terdapat dan tersirat pada ketentuan Pasal 227 HIR, yakni: sebelum putusan dijatuhkan kepada tergugat atau sebelum putusan yang menghukumnya belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, tergugat telah dihukum dan dinyatakan bersalah dengan jalan menyita barang-barangnya, sehingga barang-barang milik tergugat yang telah disita untuk kepentingan penggugat tersebut dibekukan, ini berarti barang-barang itu disimpan (diconserveer) untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan, digelapkan atau dipindahtangankan kepada orang lain, seperti digadaikan, disewakan atau dijual.
2.      Sita Jaminan sebagai tindakan perampasan
Pada hakekatnya, sita jaminan merupakan "perintah" perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Perintah perampasan itu, dikeluarkan pengadilan dalam surat penetapan berdasarkan permohonan penggugat. Perampasan atas harta tergugat tersebut adakalanya:

a.       Bersifat permanen
Sita jaminan bisa bersifat permanen, apabila sita jaminan kelak dilanjutkan dengan perintah penyerahan kepada penggugat berdasar putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap. Atau apabila sita jaminan kelak dilanjutkan dengan penjualan lelang melunasi pembayaran hutang tergugat kepada penggugat.
b.      Adakalanya bersifat temporer
Sita jaminan yang diletakkan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, dapat dikatakan bersifat temporer, apabila hakim memerintahkan pengangkatan sita. Perintah pengangkatan sita jaminan yang seperti itu terjadi berdasarkan surat penentapan pada saat proses persidangan mulai berlangsung, dan bisa juga dilakukan hakim sekaligus pada saat menjatuhkan putusan, apabila gugatan penggugat ditolak.
·         Fungsi Sita Jaminan
Secara sepintas, telah disinggung apa yang menjadi tujuan sita jaminan, bahwa tujuan utamanya adalah agar tergugat tidak memindahkan atau mengalihkan harta bendanya kepada pihak lain. Inilah tujuan utama dari sita jaminan, menjaga keutuhan keberadaan harta terperkara atau harta kekayaan tergugat selama proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai perkara memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya perintah penyitaan atas harta tergugat atau harta sengketa, secara hukum telah terjamin keutuhan keberadaan barang yang disita.
Sita jaminan merupakan upaya hukum terjaminnya keutuhan dan keberadaan harta yang disita sampai putusan dapat dieksekusi, agar gugatan penggugat pada saat gugatannya dieksekusi tidaklah percuma, karena dengan diletakkan sita jaminan pada harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, dan pelaksanaan dan pensitaan telah didaftarkan dan telah diumumkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan 198 HIR, Maka terhitung sejak tanggal pendaftaran dan pengumuman sita, telah digariskan akibat hukumnya, seperti yang diatur dalam Pasal 199 HIR29.

·         Jenis-jenis Sita Jaminan
Penyitaan dalam perkara perdata adalah untuk menjamin hak-hak setiap warga masyarakat, maka penyitaan itu dapat dilaksanakan oleh pengadilan setelah ada permintaan dari warga masyarakat yang berkepentingan. Untuk itu terdapat beberapa jenis sita jaminan sebagai berikut:
1.      Sita Jaminan Terhadap Benda Milik Penggugat (Kreditor)
sita jaminan yang dilakukan terhadap benda milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat atau orang lain / pihak ketiga. Sita jaminan ini tidak dimaksudkan untuk menjamin suatu tagihan utang yang berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari penggugat (pemohon atau kreditor) dan berakhir dengan penyerahan (levering) benda yang disita itu. Sita jaminan terhadap benda milik penggugat sendiri dikenal ada 2 (dua) macam, yaitu :
a.      Sita Revindicatoir
Sita Revindicatoir adalah sita yang dimohonkan, baik secara lisan ataupun tertulis, oleh pemilik suatu benda bergerak yang sedang dikuasai oleh tergugat atau pihak lain, melalui Pengadilan Negeri di tempat orang yang menguasai benda tersebut tinggal. Jadi, jelaslah disini bahwa yang dapat mengajukan sita revindicatoir adalah setiap pemilik benda bergerak yang sedang dikuasai oleh orang lain (Pasal 1977 ayat (2) dan Pasal 1751 KUHPerdata). Demikian pula setiap orang yang memiliki hak reklame, yaitu hak menjual barang bergerak. untuk meminta kembali barang yang dijualnya, bila pembeli barang tersebut tidak membayar dengan harga yang telah disepakati, untuk mengajukan permohonan sita revindicatoir (Pasal 1145 KUHPerdata, Pasal 232 KURD). Tuntutan sita revindicatoir ini dapat dilakukan langsung terhadap orang atau pihak yang menguasai barang yang disengketakan tersebut tanpa harus meminta pembatalan terlebih dahulu terhadap jual-beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lain, yang dilakukan oleh orang tersebut (tergugat) dengan pihak lain.
Barang yang dapat disita secara revindicatoir adalah barang bergerak milik pemohon. Barang tidak bergerak tidak dapat disita secara revindicatoir. Hal ini disebabkan karena peluang untuk dialihkan terhadap benda tetap ini relatif kecil dan tidak mudah mengalihkan benda tidak bergerak.
Oleh karena permohonan sita revindicatoir itu pada hakekatnya sudah menilai mengenai pokok perkara, maka permohonan sita revindicatoir itu diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Dengan demikian hakim itu pulalah yang memberi perintah penyitaan dengan surat penetapan.
Tidak perlu dugaan alasan untuk dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang tersebut.
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan berada di tangan pihak ketiga untuk disimpannya, atau dapat juga dititipkan di tempat lain yang dinilai layak dari patut. Akibat hukum sita revindicatoir adalah bahwa pemohon atau penyita barang tidak dapat menguasai barang yang telah disita, sebaliknya di pihak yang terkena sita untuk tidak mengalihkan atau mengasingkan barang bergerak tersebut.
Bila gugatan yang diajukan penggugat itu dikabulkan oleh hakim, maka pada saat dibuat amar putusan pengadilan sita revindicatoir tersebut harus dinyatakan sah dan berharga serta hakim memerintahkan agar barang yang disita tersebut diserahkan kepada penggugat. Bila gugatan ditolak, maka sita revindicatoir yang telah dijalankan tersebut harus dinyatakan dicabut.
b.      Sita Marital
Dalam kehidupan rumah tangga, pasangan suami-isteri dapat saja teriadi perceraian yang berakibat timbulnya sengketa keperdataan di antara kedua belah pihak. Hukum Acara Perdata menyediakan fasilitas bagi pemohon untuk melindungi haknya selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan antara pemohon sita dengan pihak lawannya atau jatuh ditangan pihak ketiga. Pemohon sita dapat dilakukan oleh suami-isteri untuk melindungi kepentingan hak yang dimilikinya dari kemungkinan gangguan pihak lain. Sita Marital adalah sita yang ditujukan untuk menjamin agar barang yang disita tidak dialihkan atau diasingkan oleh pihak lawan, dan bukan ditujukan untuk menjamin tagihan utang dan penyerahan barang.
Sita marital tidak perlu dinyatakan sah dan berharga oleh hakim dalam amar putusannya. Hal ini disebabkan karena sita marital ini hanya bersifat menjamin dan menyimpan terhadap suatu barang tertentu. Pernyataan sah dan berharga hanya diperlukan untuk memperoleh titel, eksekutorial yang akan mengubah sita jaminan menjadi sita eksekutorial. Dengan demikian putusan tersebut dapat dilaksanakan dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita.
Sita marital tidak berakhir dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita. Sita marital ini dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri oleh seorang isteri yang tunduk kepada KUHPerdata, selama sengketa perceraiannya diperiksa di pengadilan, terhadap barang- barang yang merupakan kesatuan harta kekayaan, untuk mencegah agar pihak lawannya tidak mengasingkan barang-barang tersebut. Jadi yang dapat mengajukan sita marital adalah pihak isteri, karena menurut KUHPerdata seorang isteri dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Untuk melindungi isteri terhadap kekuasaan marital suaminya, maka sita marital ini disediakan bagi isteri.
Benda bergerak dari harta kekayaan bersama suami-isteri atau milim isteri dan benda tetap dari harta bersama dapat diajukan untuk dilakukan sita marital.
2.      Sita Jaminan Terhadap Benda Milik Tergugat (Debitor)
Sita jaminan terhadap benda milik tergugat atau debitor sering disebut dengan istilah sita conservatoir. Sita Conservatoir adalah permohonan penggugat kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakan putusan hakim perdata dengan menghargakan dan atau menjual benda milik debitor yang disita dalam rangka memenuhi tuntutan penggugat.
Pasal 227 ayat (1) HIR menentukan bahwa sita conservatoir hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri karena adanya permintaan kreditor atau penggugat. Secara faktual dalam proses pengadilan, penggugat mengajukan permohonan sita jaminan ini kepada hakim yang memeriksa perkara tersebut, yang selanjutnya hakim membuat penetapan. Hal ini disebabkan karena sita jaminan ini telah menjurus dalam pemeriksaan pokok perkara. Oleh karena itu hakim yang memeriksa perkara tersebut itulah yang dapat memerintahkan sita jaminan dengan surat penetapannya.
 Syarat untuk dapat mengajukan sita jaminan harus dimulai dengan adanya dugaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang tersebut dikhawatirkan akan menggelapkan, mengalihkan dan sebagainya terhadap barang tersebut sebelum dijatuhkan putusan hakim atau selama putusan dijalankan. Bila penggugat tidak memiliki bukti yang kuat bahwa ada kekhawatiran terhadap tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan benda tersebut, maka sita jaminan tidak dilakukan. Syarat adanya dugaan ini tidak hanya sebagai syarat formalitas saja, melainkan sebagai suatu upaya untuk mencegah terjadinya penyitaan secara semena-mena, sehingga tidak efektif dalam pelaksanaan nantinya. Oleh karena itu, debitor harus diminta keterangannya sehubungan dengan dugaan penggugat tersebut. Dalam hal ini tidak diperlukan upaya pembuktian menurut undang-undang.
Permohonan sita jaminan bukanlah suatu tuntutan hak yang bebas dan berdiri sendiri, melainkan selalu berkaitan dengan pokok perkara.
Namun demikian, ada beberapa kemungkinan kombinasi antara sita jaminan dengan pokok perkara yaitu:
a.       Sita jaminan diajukan bersama-sama dengan pokok perkara, atau
b.      Sita jaminan secara terpisah dengan pokok perkara.
Biasanya permohonan sita jaminan diajukan sebelum dijatuhkan putusan dan umumnya disatukan dalam gugatan. Selain itu, sering juga ditemukan bahwa selagi perkaranya diperiksa di tingkat banding, diajukan permohonan sita jaminan, karena setelah diputus oleh Pengadilan Negeri ternyata ada upaya tergugat untuk menggelapkan atau menghilangkan jejak benda tersebut. Suatu hal harus dipahami bahwa sita jaminan tidak hanya berfungsi untuk menyimpan benda yang disita semata, melainkan juga untuk dijual atau diuangkan nantinya. Dengan demikian bila sita jaminan ini dikabulkan maka perlu memperoleh kekuatan eksekutorial, sehingga perlu dinyatakan sah dan berharga dalam putusan hakim tersebut.
Sebaliknya bila permohonan sita jaminan tersebut ditolak, maka sita jaminan yang telah dijalankan atas perintah hakim dinyatakan dicabut atau diangkat dalam amar putusan. Bila sita jaminan ini diajukan bersama-sama dengan gugatan atau dijatuhkan sebelum ada putusan akhir, maka pernyataan sah dan berharga itu dicantumkan dalam amar putusan hakim.
Menurut Pasal 227 ayat (1) HIR, penyitaan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang melakukan penyitaan tersebut. Sebagai suatu tindakan persiapan yang hanya bersifat menjamin hak dan bukan merupakan pemeriksaan pokok perkara, maka sita jaminan tidak akan mempengaruhi pemeriksaan pokok perkara tersebut di tingkat banding. Surat penetapan sita tersebut dikirim ke Pengadilan Tinggi untuk diperiksa bersama-sama dengan pokok perkara yang bersangkutan. Bila Pengadilan Tinggi ternyata memutuskan yang bersifat menguatkan putusan Pengadilan Negeri yang isinya mengabulkan gugatan si penggugat, maka dalam amar putusan hakim Pengadilan Tinggi perlu ditambahkan bahwa pernohonan sita jaminan yang telah dikabulkan oleh Pengadilan Negeri tersebut dinyatakan sah dan berharga. Sebaliknya, bila Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri, maka dalam amar putusan hakim harus ditambahkan pernyataan bahwa sita jaminan itu dicabut atau diangkat.
Untuk memberikan perlindungan kepada si tergugat, maka setiap saat tersita dapat mengajukan permohonan kepada hakim yang memeriksa pokok perkara tersebut, agar sita jaminan yang dijatuhkan atas benda nmiliknya itu untuk diangkat atau dicabut. Permohonan pencabutan sita jaminan ini dari si tergugat dapat saja dikabulkan oleh hakim, bila nyata-nyata si tergugat tersebut telah menyediakan tanggungan atau jaminan yang memadai. Hal yang sama dapat juga dilakukan bila ternyata sita jaminan tersebut tidak efektif dan tidak ada gunanya atau barang yang telah disita tersebut nyata-nyata bukan kepunyaan si tergugat tersebut. Benda-benda yang dapat disita conservatoir meliputi:
a.       Benda bergerak milik debitor (tergugat);
b.      Benda tetap milik debitor; dan
c.       Benda bergerak milik debitor yang sedang berada di pihak ketiga.
Adapun mengenai benda bergerak dan benda tetap atau tidak bergerak mempunyai arti yang berbeda, yaitu :
Benda bergerak berdasarkan Pasal 505 KUH Perdata adalah benda yang dapat dihabiskan atau tidak dapat dihabiskan, kebendaan dikatakan dapat dihabiskan, bilamana karena dipakai, menjadi habis.
Sedangkan menurut Pasal 509 KUH Perdata, kebendaan bergerak karena sifatnya ialah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan.

C.    Gugatan Gugur putusan Vrestek
·         Putusan Gugur
Apabila pada sidang pertama perkara perdata yang telah ditentukan ternyata penggugat tidak hadir tanpa alasan yang dapat dibenarkan dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir, sedang ia sudah dipanggil secara patut, maka hakim dapat menjatuhkan putusan menggugurkan gugatan atau gugatan dianggap gugur dan tidak berlaku lagi,  dan bersamaan dengan itu menghukum penggugat membayar biaya perkara, akan tetapi penggugat yang gugatannya telah dinyatakan gugur tersebut masih berhak untuk mengajukan kembali gugatannya setelah terlebih dahulu membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg).
Jika penggugat hadir pada sidang pertama kemudian tidak hadir pada sidang-sidang berikutnya, perkara diperiksa dan diputuskan secara contradictoir.
  • Putusan Verstek
Apabila pada sidang pertama yang telah ditentukan ternyata tergugat tidak hadir tanpa alasan yang dapat dibenarkan dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir, sedang ia sudah dipanggil secara patut, maka hakim dapat memutuskan gugatan penggugat dapat diterima karena tergugat tidak hadir putusan verstek, kecuali jika gugatan penggugat melawan hukum atau tidak beralasan (Pasal 125 HIR/Pasal 149 RBg).
Terhadap putusan verstek tergugat berhak mengajukan perlawanan (verzet) kepada pengadilan negeri yang memeriksa perkara tersebut (Pasal 125 ayat (3), Pasal 129 HIR/Pasal 149 ayat (3) dan Pasal 153 RBg).
1)      Gugatan Melawan Hukum
Gugatan melawan hukum (onrechtmatige daad) artinya gugatan itu bertentangan dengan hukum atau tidak berdasarkan hukum, baik bertentangan dengan hukum perdata maupun hukum acara perdata.
2)      Gugatan Tidak Beralasan
Gugatan tidak beralasan atau tidak terbukti  (ongegrond) apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan atau peristiwa-peristiwa yang diajukan sebagai dasar gugatan tidak ada hubunganya dengan tuntutan. Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa yang diajukan sebagai dasar gugatan tidak terbukti secara sah menurut hukum.
Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima dimaksudkan sebagai penolakan gugatan diluar pokok perkara. Sedangkan putusan yang menyatakan gugatan ditolak merupakan putusan setelah  mempertimbangkan mengenai pokok perkara. Jadi, antara kedua macam putusan itu mempunyai perbedaan yang besar sekali dan konsekuensi yang berlainan.
Terhadap putusan tidak dapat diterima (niet onvanklijk verklaard), penggugat masih dapat mengajukan gugatannya kembali kepengadilan Negeri. Sedangkan terhadap putusan yang menyatakan gugatan ditolak (onzegd), penggugat tidak dapat mengajukan gugatan lagi ke pengadilan Negeri (ne bis in idem), tetapi hanya dapat mengajukan permohonan pemeriksaan ditingkat banding di Pengadilan Tinggi.
Dengan demikian, dalam putusan verstek gugatan penggugat tidak selalu dikabulkan oleh Pengadilan  Negeri, yaitu apabila gugatan penggugat melawan hukum atau  tidak beralasan,  sehingga meskipun tergugat tidak hadir tidak selalu dikalahkan.
D.    Perubahan dan pencabutan gugatan
·         perubahan gugatan
HIR tidak mengatur perihal menambah atau mengubah surat gugatan, sehingga hakim leluasa untuk menentukan sampai dimana penambahan atau perubahan itu akan diperkenankan. Disinalah tugas hakim untuk menemukan hukumnya ketika suatu persoalan tidak jelas atau belum ada aturan hukumnya.
Menurut pasal 127 Rv perubahan daripada gugatan dibolehkan sepanjang pemeriksaan perkara, asal saja tidak merubah atau menambah “onderwerp van dein eis” (petitum, pokok tuntutan). Pengertian “onderwerp van dein eis” ini di dalam praktek meliputi juga dasar daripada tuntutan, termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan.
Perubahan gugatan tidak dibenarkan pada tingkat dimana pemeriksaan perkara sudah hampir selesai pada saat mana dalil-dalil tangkisan dan pembelaan sudah habis dikemukakan dan kedua belah pihak sebelum itu sudah mohon putusan. Mengenai perubahan gugatan Mahkamah Agung berpendapat bahwa apabila tidak melampaui batas-batas materi pokok pertama yang dapat menimbulkan kerugian pada hak pembelaan para tergugat dapat dikabulkan. Dalam putusannya Tanggal. 6 Maret 1971 No. 209 K/Sip/1970 telah memutuskan, bahwa suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan azaz-azaz hukum acara perdata, asal tidak merubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair untuk peradilan yang adil.
Pasal 39 dari staatsblad 1932-80 tentang peradilan adat juga memperbolehkan kepada hakim adat untuk mengizinkan mengubah atau menambah permohonan gugat, kecuali kalau dengan itu kepentingan yang sesuai dengan hokum terlalu sangat merugikan.
·         pencabutan gugatan.
Mencabut gugatan adalah tindakan untuk menarik kembali suatu gugatan yang telah didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri. Ada banyak alasan mengapa gugatan itu harus ditarik kembali. Diantaranya karena ketidak lengkapan pihak-pihak yang menjadi tergugat, karena telah tercapai kesepakatan atau perdamain diantara para pihak, tuntutan penggugat telah dipenuhi oleh tergugat dan lain-lain. Ketentuan pencabutan gugatan ini tidak di atur dalam ketentuan HIR maupun RBG.
Berbeda halnya jika pencabutan gugatan itu dilakukan setelah tergugat memberikan jawabannya di pengadilan. Maka persetujuan dari pihak tergugat mutlak harus dilakukan. Hal ini menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, SH didasarkan pada pemikiran adanyakemungkinan besar sekali bahwa tergugat telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menanggapi gugatan penggugat, tergugat sudah terlanjur mengeluarkan biaya banyak, nama baiknya tersinggung: baginya lebih baik kalau perkaranya dilanjutkan. Oleh karena kemungkinan timbul pertentangan kepentingan antara penggugat dan tergugat, maka untuk pencabutan gugatan sesudah tergugat memberi jawabannya perlu dimintakan persetujuan dari tergugat.
Penggugat dapat mengajukan lagi gugatannya apabila pencabutan itu dilakukan sebelum tergugat memberi jawabannya, namun pencabutan gugatan sesudah tergugat memberi jawaban dapat dianggap bahwa penggugat telah melepaskan haknya, sehingga tidak boleh mengajukannya lagi. Menurut pasal 30 AB pencabutan gugatan tidak dapat menghentikan atau menunda tuntutan pidana. Sebaliknya pasal 29 AB menentukan selama tuntutan pidana berjalan, maka tuntutan ganti kerugian dalam perkara perdata yang timbul dari perbuatan pidana tersebut terhenti atau ditunda.

E.     Perdamain
Beradasarkan ketentuan ayat 1 pasal 130 HIR, hakim sebelum memeriksa suatu perkara perdata diharuskan untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Perdamaian itu tentunya merupakan putusan yang lebih baik bagi para pihak dari pada harus diputuskan oleh hakim, karena dapat menyelesaikan persoalan yang ada secara tuntas yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Hubungan sosial kemasyarakat pihak-pihak yang bersengketa-pun bisa terjalin baik kembali. Hal ini berbeda jika sengketa itu tidak terselesaikan dengan perdamaian tetapi harus diputus biasa, besar kemungkinan salah satu atau para pihak belum tentu menerimanya dengan lapang dada karena dalam putusan itu pasti ada yang dikalahkan dan dimenangkan. Apabila perdamaian itu dicapai di dalam proses persidangan yang dimediasi oleh hakim lalu di buatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati isi dari akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian semacam ini kekuatan mengikatnya sama dengan suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van ewijsde).
Perdamaian merupakan persetujuan antara dua pihak untuk mengakhiri sengketa. Tentu hal ini terjadi karena didasari atas “mau sama mau” sehingga menurut ketentuan ayat 3 pasal 130 HIR., yang bersangkutan, tidak diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding atau kasasi.
Berbeda dengan perdamaian yang dilakukan oleh pihak-pihak di luar sidang. Hasil dari perdamaian ini hanya berkekuatan sebagai persetujuan ke dua belah pihak saja, yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak, masih harus diajukan melalui suatu proses di pengadilan.
Pernyataan dari kuasa hukum tergugat yang tidak berkeberatan atas dicabutnya gugatan tersebut juga menjadi dasar di kabulkannya pencabutan gugatan tersebut oleh majelis hakim. Mengingat pencabutan gugatan tersebut dilakukan setelah perkaranya diperiksa di pengadilan, sehingga harus dimintakan persetujuannya kepada para tergugat.
Dengan telah dilakukannya pencabutan gugatan tersebut, maka hal itu menjadi suatu bukti bahwa sengketa para pihak telah berakhir yang tidak dapat dimintakan banding atau kasasi, mengingat kekuatan hukum akta perdamaian tersebut mempunyai kekuatan hukum seperti putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

F.     Eksepsi Jawaban Tergugat, Rekonveksi, Intervensi Serta Replik Dan Duplik
  • Eksepsi  Jawaban tergugat
Dalam pemeriksaan perkara dipersidangan pengadilan negeri jawab menjawab antara kedua belah pihak merupakan hal yang sangat penting. Jawaban tergugat dapat berupa pengakuan, berupa bantahan, tangkisan dan dapat pula berupa referte. Pengakuan ialah jawaban yang membenarkan isi gugatan.
Bantahan ialah pernyataan yang tidak membenarkan atau tidak mengakui apa yang di gugatkan terhadap tergugat. Jika tergugat mengajukan bantahan , maka bantahannya itu disertai alasan alasan.. jika bantahan tidak di sertai alasan alasan maka itu sama sekali tidak ada artinya dimata hakim.
  • Rekovensi ( gugatan balasan )
Rekovensi diatur dalam pasal 132 a dan 132b HIR yang di sisipkan dengan stb.1927-300 dua pasal dimana mengambil alih pasal pasal 244-247 B.Rv dalam RBg. Diatur dalam pasal 157 dan 158. Yang dimaksud rekovensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat , berhubung penggugat juga melakukanWanprestasi terhadap tergugat.
  • Intervensi
Yang dimaksud intervensi menurut ketentuan pasal 279 B.Rv barang siapa yang mempunyai kepentingan dalam suatu perkara yang sedang doperiksa di pengadilan, dapat ikut serta dalam perkara tersebut dengan jalan menyertai (Voeging) atau menengahi (tussenkomst). Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa intervensi itu adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berlangsung, apabila ia mempunyai kepentingan (belang interest ). Jadi syaratnya harus ada kepentingan caranya ialah dengan jalan menyertai salah satu pihak atau menengahi melawan kedua belah pihak.
·         Replik
Replik merupakan tahapan persidangan yang diberikan kepada Penggugat dimana Penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan hak perdatanya atas sanggahan yang diberikan Tergugat berupa tanggapannya atas Jawaban yang diberikan Tergugat .Relpik tidak diatur dalam HIR namun diatur dalam  pasal 142 Rv (Reglement op Rechtsverordering).
Dalam Replik biasanya akan dimasukkan dalil-dalil yang merupakan sanggahan atau penolakan atas sebagian atau seluruh dalil-dalil Tergugat yang dikemukakan dalam jawabannya.Bila dalam jawaban ada dalil-dalil yang bertolak belakang dengan dalil Penggugat dalam gugatannya maka pada tahap replik penggugat akan berusaha memperkuat dalil yang telah dikemukakan tersebut dengan menambahkan pendapat doktrin atau Yurisprudensi yang berkaitan erat dengan dalil yang telah dibantah tergugat tersebut. Sehingga kadang-kadang untuk semakin memperkuat dalil tersebut juga ditambahakan bukti baru yang menambah kejelasan akan dalil yang telah dikemukakan dalam gugatan semula. Dalam replik juga dikemukakan dalil baru yang belum pernah dinyatakan dalam gugatan. Dalil baru tersebut biasanya merupakan dalil yang berdiri sendiri tetapi posoisinya tetap akan semakin memperkuat dalil-dalil gugatan secara keseluruhan sebagaimana yang dikemukakan dalam gugatan semula. Dengan demikian dapat dikatakan dalil-dalail yang dikemukakan penggugat dalam repliknya merupakan dalil-dalil yang membatah dalil-dalil tergugat dalam jawabannya juga sekaligus semakin mempertegas dan memperkokoh dalil-dalil yang telah dikemukakan dalam gugatan semula. Bila ada eksepsi yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya maka penggugat pada repliknya harus memberikan tanggapannya yang cecara keseluruhan berisi dalil-dalil yang mematahkan eksepsi yang dikemukakan tergugat tersebut. Dalil-dalil yang dipergunakan penggugat dalam menangkis eksepsi tersbut harus benar benar mempunyai dasar hukum yang kuat, karena bila tidak kuat bila dalil eksepsi tersebut merupakan eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi baik yang absolut maupun yang relatif akan membuat majelis yang memeriksa perkara tersebut menyatakan dirinya tak berwenang untuk memeriksa  tersebut dalam suatu putusan sela. Bila eksepsi yang diajukan merupakan eksepsi yang termasuk dalam  pokok perkara  seperti eksepsi ne bis in idem maka dalam replik tersebut harus dimuat dalil-dalil yang mematahkan atau setidaknya melemahkannya. Kalau perlu diajukan bukti-bukti yang mendukungnya beserta yurisprudensinya yang mempunyai criteria/batasan apa yang dimaksud dengan ne bis in idem tersebut.Demikian pula bila ada eksepsi-eksepsi lain maka penggugat dalam repliknya harus memberikan tanggapan atas eksepsi tersebut apakah membenarkan atau menolaknya. Demikian pula pada bagian pokok perkara dalam replik maka ada klausul yang harus dimuat disana.
Pertama adalah menyatakan bila pada bagian eksepsi yang berisi sanggahan atau penolakan atas dalil eksepsi tergugat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya tersebut. Hal ini penting dinyatakan karena hampir sebagian besar eksepsi merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok perkara sehingga harus diperiksa dan diputus bersama-sama dalam pokok  perkara pada putusan akhir.
Kedua, klausul yang berisi penolakan atas sebagian atau seluruhnya dari dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat dalam jawabannya dan menyatakan  diakui bila  ada pengakuan sepanjang memang diakui oleh penggugat. Kmeudian penggugat harus menetukan sikap dan kejelasan pokok masalahnya atas setiap dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat satu demi satu. Penolakan itu harus dimuat dalam repliknya satu demi satu. Bila ternyata dalil-dalail dalam jawaban tersebut mempunyai kesamaan maka penggugat dalam menanggapinya bisa memasukan penolakannya tersebut dalam suatu kesatuan. Bila dalam jawaban tergugat mengajukan eksepsi maka petitum dari replik juga mengalami pergeseran bentuk yang tidak sama dengan petitum dalam gugatan dan petitum dalam jawaban  sepanjang mengenai eksepsinya.
·         Duplik
Duplik merupakan tahapan yang dimiliki tergugat. Dalam membuat duplik tergugat diharapkan dalil-dalilnya tidak bertentangan dengan dalil-dalilnya yang dimuat dalam jawaban.
Bila dalam jawaban ada eksepsi yang kemudian eksepsi tersebut ditanggapi oleh penggugat dalam repliknya, maka tergugat  dalam tahap ini harus memuat dalil-dalil yang pada dasarnya semakin memperkuat dalilnya semula. Kemudian dalil tersebut dapat merupakan pendapat doktrin atau yurisprudensi yang berkaitan erat dengan apa yang dikemukakan dalam dalil tersebut.
Bila perlu dalil tersebut sekaligus juga harus dapat mematahkan atau setidaknya melemahkan dalil yang dikemukakan penggugat dalam repliknya.
Kemudian dalam pokok perkara sama dengan replik ada dua klausul yang harus dimuat. Pertama, berisi pernyataan agar dalil-dalil yang dikemukakan pada bagian eksepsi dianggap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya. Kedua, merupakan pernyatan yang menolak dalil-dali penggugat secara keseluruhan, kecuali memang ada dalil yang diakui olehnya.
Kemudian dalil-dalil  pada replik harus satu demi satu dibantah/ditolak atau mungkin diakui oleh tergugat. Sedang bentuk petitumnya memakai model yang sama dengan replik namun isinya tentunya harus bertentangan dengan apa yang dikemukakan pada replik tersebut.


BAB. III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan paparan pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam pemeriksaan perkara didepan pengadilan memiliki beberapa tahap, yaitu :
1.      Penentuan hari sidamg dan Pemanggilan Para Pihak Dalam Sidang Pengadilan Perdata.
2.      Sita Jaminan
3.      Gugatan Gugur putusan Vrestek
4.      Perubahan dan pencabutan gugatan
5.      Perdamain
6.      Eksepsi Jawaban Tergugat, Rekonveksi, Intervensi Serta Replik Dan Duplik
B.     Saran dan keritik
Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca memperkaya khasanah perpustakaan serta bermanfaat bagi semua pihak. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R)
Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty. Edisi VII
Moh. Taufik Makaro, SH. MH, 2004. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Riduan Syahrani, S.H.,   2009. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata,
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti
Reglement Biusten Govesten (RBg)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

Riba dan Bunga Bank

Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan