BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum acara perdata adalah rangkaian-rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu
sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Perkara
perdata yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan (damai), tidak boleh
diselesaikan dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting) tetapi
harus diselesaikan melalui pengadilan. Pihak yg merasa dirugikan hak
perdatanya dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh
penyelesaian sebagaimana mestinya, yakni dengan menyampaikan gugatan
terhadap pihak dirasa merugikan.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana
tahap-tahap pemeriksaan perkara di depan pengadilan ?
C. Tujuan Penulisan
- Untuk mengetagui tahap-tahap
pemeriksaan perkara di depan pengadilan
D. Manfaat Penulisan
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
semua pihak, memperkaya khasanah perpustakaan serta menambah wawasan bagi
pembaca maupun penulisnya.
BAB.
II
PEMBAHASAN
Pemeriksaan Perkara Di Depan Pengadilan
A.
Penentuan
hari sidamg dan Pemanggilan Para Pihak Dalam Sidang Pengadilan Perdata
Setelah Ketua
Pengadilan Negeri (Ketua PN) menerima berkas perkara yang didaftarkan penggugat
dari panitera, dan Ketua PN menunjuk majelis hakim yang menyidangkan perkara,
selanjutnya majelis hakim menetapkan hari sidang. Penetapan hari sidang
tersebut dilakukan dengan “surat penetapan”, yang di dalamnya juga mencantumkan
perintah kepada panitera atau juru sita memanggil para pihak agar hadir di
depan sidang pengadilan pada waktu yang telah ditentukan itu. Hal ini diatur dalam pasal 121 ayat (1) HIR –
pemanggilan itu juga meliputi perintah agar para pihak menghadirkan saksi-saksi.
Pemanggilan para pihak
dilakukan oleh juru sita pengadilan sesuai kompetensi relatif juru sita yang
bersangkutan. Ruang lingkup kempetensi relatif juru sita pengadilan mengikuti
kompetensi relatif PN yang bersangkutan, sehingga jika pemanggilan para pihak
dilakukan di luar jangkauan kompetensi relatifnya, juru sita melakukan
pendelegasian pemanggilan kepada juru sita di wilayah hukum pengadilan dimana
pihak yang dipanggil bertempat tinggal. Jika pemanggilan dilakukan oleh juru
sita diluar kompetensi relatifnya, maka pemanggilan tersebut dianggap tidak sah
karena pemanggilan dilakukan oleh juru sita yang tidak berwenang.
·
Bentuk
Pemanggilan
Pemanggilan para pihak
agar hadir pada sidang yang telah ditentukan dibuat dalam bentuk surat tertulis
yang lazim juga disebut relaas panggilan. Pemanggilan secara lisan dianggap
tidak sah, demikian menurut pasal 390 HIR. Surat panggilan tersebut berisi:
1. Nama
yang dipanggil.
2. Hari,
jam, dan tempat sidang.
3. Membawa
saksi-saksi yang diperlukan.
4. Membawa
surat-surat yang hendak digunakan.
5. Penegasan
dapat menjawab gugatan dengan surat.
Syarat-syarat tersebut
bersifat akumulatif dan bukannya alternatif, sehingga jika salah satu tidak
terpenuhi maka panggilan tidak sah. Demikian pula syarat-syarat tersebut
bersifat memaksa (imperatif), dan bukannya fakultatif. Menurut Yahya Harahap,
syarat pertama dan syarat kedua itu bersifat mutlak harus ada, sedangkan syarat
selebihnya dapat ditolerir, dalam arti tidak serta merta dapat dinyatakan tidak
sah.
·
Tata
Cara Pemanggilan Yang Sah
Jika tergugat telah
diketahui tempat tinggal atau kediamannya, surat panggilan diajukan kepada
tergugat sendiri secara langsung (in person). Istilah in person dapat diperluas
lagi sampai meliputi keluarga tergugat dalam garis lurus ke atas dan kebawah
(orang tua dan anak), serta termasuk istri atau suami. Perluasan pengertian in
person tersebut dilakukan jika tergugat diketahui tempat tinggal atau
kediamannya tapi tidak berada di tempat.
Jika tempat tinggal dan
kediaman tergugat diketahui tapi ia tidak berada di tempat dan begitu juga
keluarganya, surat panggilan itu disampaikan kepada kepala desa setempat dengan
disertai perintah agar kepala desa tersebut menyampaikan panggilan itu kepada
tergugat. Jika juru sita tidak menemui tergugat atau keluarganya di tempat
tinggal atau kediamannya, dan menurut kepala desa setempat tergugat telah
meninggalkan tempat itu dan tidak menyebutkan alamat baru, maka surat panggilan
disampaikan kepada bupati atau wali kota tempat tinggal atau kediaman tergugat.
Bupati atau walikota kemudian mengumumkan surat juru sita itu dengan
menempelkannya di pintu ruang sidang pengadilan.
Pemanggilan kepada
tergugat yang berada di luar negeri dilakukan jika tempat tinggal atau kediaman
tergugat diketahui, tapi tempat tinggal itu berada di luar negeri. Surat
panggilan itu kemudian disampaikan melalui jalur diplomatik, misalnya Deplu,
kedutaan atau konsulat. Sebaliknya, jika tempat tinggal tergugat di luar negeri
tidak diketahui, maka pemanggilan dilakukan secara umum – di media cetak.
Pemanggilan terhadap orang yang telah meninggal dilakukan kepada ahli waris
tergugat, yaitu jika tempat tinggal ahli warisnya itu diketahui. Jika ahli waris tidak didiketahui,
pemanggilan disampaikan melalui kepala desa tempat tinggal almarhum, dan kepala
desa menyampaikannya kepada ahli waris.
·
Jangka
Waktu Antara Pemanggilan dan Hari Sidang
Jangka waktu antara
pemanggilan dan hari sidang didasarkan pada jarak antara tempat tinggal atau
kediaman tergugat dengan pengadilan. Jika jaraknya dekat waktu pemanggilan 8
hari, jika jaraknya agak jauh waktu pemanggilan 14 hari, jika jaraknya jauh
waktu pemanggilan 20 hari. Dalam keadaan mendesak, jangka waktu tersebut tidak
boleh kurang dari 3 hari. Jika tergugat terdiri dari beberapa orang, maka
patokan jangka waktu diambil berdasarkan jarak tempat tinggal tergugat yang
terjauh.
·
Jika
Pemanggilan Batal, Juru Sita dapat Dihukum.
Jika suatu panggilan
batal karena disebabkan oleh juru sita, baik sengaja maupun lalai, juru sita
dapat dihukum untuk membayar biaya panggilan dan acara yang batal. Selain itu,
Juru Sita juga dapat dihukum mengganti kerugian akibat pembatalan itu
berdasarkan gugatan Perbuatan melawan Hukum (PMH) pasal 1365 KUHPerdata.
B.
Sita
Jaminan
·
Pengertian Sita Jaminan
Pengertian sita
jaminan atau conservatoir beslag diatur dalam Pasal 227 ayat (1) HIR, Pasal 261
ayat (1) RBG atau Pasal 720 Rv,24 yang secara
yuridis merupakan
upaya hukum yang diambil oleh pengadilan dengan
menyita barang
debitur sebagai tindakan yang mendahului pemeriksaan pokok perkara selama belum dijatuhkan putusan dalam perkara
tersebut.
Dengan demikian
sita jaminan dapat dilakukan:
1. Sebelum
pengadilan memeriksa pokok perkara; atau
2. Pada saat proses
pemeriksaan perkara sedang berjalan, sebelum Hakim Ketua (pengadilan) menjatuhkan putusan.
Dari ketentuan
Pasal 227 HIR atau Pasal 261 RBG, ada beberapa
makna yang
terkandung dalam lembaga sita jaminan, seperti yang akan diuraikan di bawah ini :
1.
Sita Jaminan
merupakan tindakan hukum eksepsional
Tindakan sita
jaminan merupakan upaya hukum dan tindakan hukum
"pengecualian". Bahwa tidak selalu suatu proses pemeriksaan perkara harus diikuti dengan tindakan sita jaminan dan
sebagai upaya untuk menjamin hak-hak penggugat, andaikata
gugatan penggugat dikabulkan karena
dimenangkan, maka akan lebih pasti bahwa putusannya itu dapat dilaksanakan dan ia dapat menikmati kemenangannya
tersebut.
Oleh karena alasan
yang eksepsional itulah, maka penerapannya haruslah:
a.
Secara bijaksana Majelis Hakim (pengadilan) mempertimbangkan secara hati-hati disertai dasar alasan yang kuat serta
didukung pula oleh fakta-fakta yang mendasar.
b.
Kebijaksanaan mengabulkan sita jaminan, sejak semula
didasarkan oleh adanya bukti yang kuat tentang akan
dikabulkannya gugatan penggugat.
Sifat tindakan
hukum yang eksepsional tersebut, diberikan oleh
undang-undang untuk
mengabulkan sita jaminan yang terdapat dan tersirat pada ketentuan Pasal 227 HIR, yakni: sebelum putusan
dijatuhkan kepada tergugat atau
sebelum putusan yang menghukumnya belum mempunyai
kekuatan hukum yang
tetap, tergugat telah dihukum dan dinyatakan bersalah dengan
jalan menyita barang-barangnya, sehingga barang-barang milik tergugat yang telah disita untuk kepentingan penggugat
tersebut dibekukan, ini berarti barang-barang itu disimpan
(diconserveer) untuk jaminan dan tidak
boleh dialihkan, digelapkan atau dipindahtangankan kepada orang lain, seperti digadaikan, disewakan atau dijual.
2.
Sita Jaminan
sebagai tindakan perampasan
Pada hakekatnya,
sita jaminan merupakan "perintah" perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Perintah
perampasan itu, dikeluarkan
pengadilan dalam surat penetapan berdasarkan permohonan penggugat. Perampasan atas harta tergugat tersebut
adakalanya:
a.
Bersifat permanen
Sita jaminan bisa
bersifat permanen, apabila sita jaminan kelak
dilanjutkan dengan
perintah penyerahan kepada penggugat berdasar
putusan yang telah
berkekuatan hukum yang tetap. Atau apabila sita
jaminan kelak
dilanjutkan dengan penjualan lelang melunasi pembayaran hutang
tergugat kepada penggugat.
b.
Adakalanya bersifat temporer
Sita jaminan yang
diletakkan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat,
dapat dikatakan bersifat temporer, apabila hakim
memerintahkan
pengangkatan sita. Perintah pengangkatan sita jaminan yang seperti itu terjadi berdasarkan surat penentapan pada
saat proses persidangan mulai berlangsung, dan bisa
juga dilakukan hakim sekaligus pada saat
menjatuhkan putusan, apabila gugatan penggugat
ditolak.
·
Fungsi Sita Jaminan
Secara sepintas,
telah disinggung apa yang menjadi tujuan sita
jaminan, bahwa
tujuan utamanya adalah agar tergugat tidak memindahkan atau mengalihkan harta bendanya kepada pihak lain. Inilah
tujuan utama dari sita jaminan,
menjaga keutuhan keberadaan harta terperkara atau harta kekayaan tergugat selama proses pemeriksaan perkara
berlangsung sampai perkara memperoleh
putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya perintah penyitaan atas harta tergugat atau harta sengketa,
secara hukum telah terjamin keutuhan
keberadaan barang yang disita.
Sita jaminan
merupakan upaya hukum terjaminnya keutuhan dan
keberadaan harta
yang disita sampai putusan dapat dieksekusi, agar gugatan penggugat pada saat gugatannya dieksekusi tidaklah percuma,
karena dengan diletakkan sita jaminan pada harta sengketa
atau harta kekayaan tergugat, dan pelaksanaan dan
pensitaan telah didaftarkan dan telah diumumkan kepada masyarakat sesuai dengan
ketentuan 198 HIR, Maka terhitung
sejak tanggal pendaftaran dan pengumuman sita, telah digariskan akibat
hukumnya, seperti yang diatur dalam Pasal 199 HIR29.
·
Jenis-jenis Sita
Jaminan
Penyitaan dalam
perkara perdata adalah untuk menjamin hak-hak
setiap warga
masyarakat, maka penyitaan itu dapat dilaksanakan oleh pengadilan setelah ada permintaan dari warga masyarakat yang berkepentingan. Untuk itu terdapat beberapa jenis sita
jaminan sebagai berikut:
1.
Sita Jaminan
Terhadap Benda Milik Penggugat (Kreditor)
sita jaminan yang dilakukan terhadap benda milik penggugat yang
dikuasai oleh tergugat atau orang lain / pihak ketiga. Sita jaminan
ini tidak dimaksudkan untuk menjamin suatu tagihan
utang yang berupa uang, melainkan untuk
menjamin suatu hak kebendaan dari penggugat (pemohon atau kreditor) dan berakhir dengan penyerahan (levering)
benda yang disita itu. Sita jaminan terhadap benda
milik penggugat sendiri dikenal ada 2 (dua) macam,
yaitu :
a.
Sita Revindicatoir
Sita
Revindicatoir adalah sita yang dimohonkan, baik secara lisan ataupun
tertulis, oleh pemilik suatu benda bergerak yang sedang dikuasai oleh
tergugat atau pihak lain, melalui Pengadilan Negeri di tempat orang yang
menguasai benda tersebut tinggal. Jadi, jelaslah disini bahwa yang dapat mengajukan sita revindicatoir adalah
setiap
pemilik benda
bergerak yang sedang dikuasai oleh orang lain (Pasal 1977 ayat (2) dan Pasal 1751 KUHPerdata). Demikian pula
setiap
orang yang memiliki
hak reklame, yaitu hak menjual barang bergerak. untuk meminta kembali barang yang dijualnya, bila pembeli
barang
tersebut tidak
membayar dengan harga yang telah disepakati, untuk mengajukan permohonan sita revindicatoir (Pasal 1145
KUHPerdata, Pasal 232 KURD). Tuntutan sita revindicatoir ini dapat
dilakukan
langsung terhadap
orang atau pihak yang menguasai barang yang disengketakan tersebut tanpa harus meminta pembatalan
terlebih
dahulu terhadap
jual-beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lain, yang dilakukan oleh orang tersebut (tergugat) dengan pihak lain.
Barang
yang dapat disita secara revindicatoir adalah barang bergerak milik pemohon. Barang tidak bergerak tidak dapat
disita
secara
revindicatoir. Hal ini disebabkan karena peluang untuk dialihkan terhadap
benda tetap ini relatif kecil dan tidak mudah mengalihkan benda tidak bergerak.
Oleh
karena permohonan sita revindicatoir itu pada hakekatnya sudah menilai mengenai pokok perkara, maka permohonan sita revindicatoir itu diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Dengan demikian hakim itu pulalah
yang memberi perintah penyitaan dengan surat penetapan.
Tidak
perlu dugaan alasan untuk dapat mengajukan permohonan sita
revindicatoir bahwa seseorang yang berhutang selama belum
dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang tersebut.
Barang
bergerak yang disita harus dibiarkan berada di tangan pihak ketiga untuk disimpannya, atau dapat juga dititipkan di
tempat lain yang dinilai layak dari patut. Akibat hukum sita revindicatoir adalah bahwa pemohon atau penyita barang tidak dapat menguasai barang yang telah
disita, sebaliknya di pihak yang terkena sita untuk tidak mengalihkan
atau mengasingkan barang bergerak tersebut.
Bila
gugatan yang diajukan penggugat itu dikabulkan oleh hakim, maka pada saat dibuat amar putusan pengadilan sita revindicatoir tersebut harus dinyatakan sah dan berharga
serta hakim memerintahkan agar barang yang disita
tersebut diserahkan kepada penggugat. Bila
gugatan ditolak, maka sita revindicatoir yang telah dijalankan tersebut harus dinyatakan dicabut.
b.
Sita Marital
Dalam
kehidupan rumah tangga, pasangan suami-isteri dapat saja teriadi perceraian yang berakibat timbulnya sengketa
keperdataan di antara kedua belah pihak. Hukum Acara
Perdata menyediakan fasilitas bagi
pemohon untuk melindungi haknya selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan antara pemohon sita dengan
pihak lawannya atau jatuh ditangan pihak ketiga. Pemohon sita dapat dilakukan oleh suami-isteri untuk melindungi kepentingan hak
yang dimilikinya dari kemungkinan gangguan pihak lain. Sita
Marital adalah sita yang ditujukan untuk menjamin agar barang yang
disita tidak dialihkan atau diasingkan oleh pihak lawan, dan bukan
ditujukan untuk menjamin tagihan utang dan penyerahan
barang.
Sita
marital tidak perlu dinyatakan sah dan berharga oleh hakim dalam amar putusannya. Hal ini disebabkan karena sita marital
ini hanya bersifat menjamin dan menyimpan terhadap suatu barang tertentu. Pernyataan sah dan berharga hanya diperlukan untuk memperoleh titel, eksekutorial yang akan mengubah sita
jaminan menjadi sita eksekutorial. Dengan demikian putusan tersebut
dapat dilaksanakan dengan penyerahan atau penjualan barang yang
disita.
Sita
marital tidak berakhir dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita. Sita marital ini dapat dimohonkan kepada
Pengadilan Negeri oleh seorang isteri yang tunduk
kepada KUHPerdata, selama sengketa
perceraiannya diperiksa di pengadilan, terhadap barang- barang yang merupakan kesatuan harta kekayaan, untuk mencegah agar pihak lawannya tidak mengasingkan barang-barang
tersebut. Jadi yang dapat mengajukan sita marital adalah
pihak isteri, karena menurut KUHPerdata seorang
isteri dianggap tidak cakap melakukan perbuatan
hukum. Untuk
melindungi isteri terhadap kekuasaan marital suaminya, maka sita marital ini disediakan bagi isteri.
Benda
bergerak dari harta kekayaan bersama suami-isteri atau milim isteri dan benda tetap dari harta bersama dapat
diajukan untuk dilakukan sita marital.
2.
Sita Jaminan
Terhadap Benda Milik Tergugat (Debitor)
Sita
jaminan terhadap benda milik tergugat atau debitor sering disebut dengan istilah sita conservatoir. Sita Conservatoir
adalah permohonan penggugat kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
menjamin dapat dilaksanakan putusan hakim perdata dengan menghargakan
dan atau menjual benda milik debitor yang disita dalam rangka memenuhi
tuntutan penggugat.
Pasal
227 ayat (1) HIR menentukan bahwa sita conservatoir hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri karena
adanya permintaan kreditor atau penggugat. Secara faktual
dalam proses pengadilan, penggugat mengajukan permohonan
sita jaminan ini kepada hakim yang
memeriksa perkara tersebut, yang selanjutnya hakim membuat penetapan. Hal ini disebabkan karena sita jaminan ini telah
menjurus dalam pemeriksaan pokok perkara. Oleh karena itu hakim yang
memeriksa perkara tersebut itulah yang dapat
memerintahkan sita jaminan dengan surat penetapannya.
Syarat untuk dapat mengajukan sita jaminan
harus dimulai dengan adanya dugaan yang
beralasan, bahwa seorang yang berhutang tersebut
dikhawatirkan akan
menggelapkan, mengalihkan dan sebagainya terhadap
barang tersebut
sebelum dijatuhkan putusan hakim atau selama putusan dijalankan. Bila penggugat tidak memiliki bukti yang kuat
bahwa ada kekhawatiran terhadap tergugat untuk
menggelapkan atau mengasingkan benda tersebut,
maka sita jaminan tidak dilakukan. Syarat adanya dugaan ini tidak hanya sebagai syarat formalitas saja, melainkan
sebagai suatu upaya untuk mencegah terjadinya penyitaan
secara semena-mena, sehingga tidak
efektif dalam pelaksanaan nantinya. Oleh karena itu, debitor harus diminta keterangannya sehubungan dengan dugaan penggugat tersebut. Dalam hal ini tidak diperlukan upaya
pembuktian menurut undang-undang.
Permohonan
sita jaminan bukanlah suatu tuntutan hak yang bebas dan berdiri sendiri, melainkan selalu berkaitan dengan pokok
perkara.
Namun
demikian, ada beberapa kemungkinan kombinasi antara sita jaminan dengan pokok
perkara yaitu:
a.
Sita jaminan diajukan bersama-sama dengan pokok perkara, atau
b.
Sita jaminan secara terpisah dengan pokok perkara.
Biasanya
permohonan sita jaminan diajukan sebelum dijatuhkan putusan dan umumnya disatukan dalam gugatan. Selain itu,
sering juga ditemukan bahwa selagi perkaranya diperiksa
di tingkat banding, diajukan permohonan
sita jaminan, karena setelah diputus oleh Pengadilan Negeri ternyata ada upaya tergugat untuk menggelapkan atau menghilangkan jejak benda tersebut. Suatu hal harus dipahami
bahwa sita jaminan tidak hanya berfungsi untuk
menyimpan benda yang disita semata, melainkan
juga untuk dijual atau diuangkan nantinya. Dengan
demikian bila sita
jaminan ini dikabulkan maka perlu memperoleh kekuatan
eksekutorial, sehingga perlu dinyatakan sah dan berharga dalam putusan hakim tersebut.
Sebaliknya
bila permohonan sita jaminan tersebut ditolak, maka sita jaminan yang telah dijalankan atas perintah hakim
dinyatakan dicabut atau diangkat dalam
amar putusan. Bila sita jaminan ini diajukan bersama-sama dengan gugatan atau
dijatuhkan sebelum ada putusan akhir, maka pernyataan sah
dan berharga itu dicantumkan dalam amar putusan
hakim.
Menurut
Pasal 227 ayat (1) HIR, penyitaan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang melakukan penyitaan tersebut. Sebagai
suatu tindakan persiapan yang hanya bersifat menjamin hak dan bukan merupakan pemeriksaan pokok perkara, maka sita jaminan tidak
akan mempengaruhi pemeriksaan pokok perkara tersebut di tingkat
banding. Surat penetapan sita tersebut dikirim ke Pengadilan Tinggi
untuk diperiksa bersama-sama dengan pokok perkara yang bersangkutan.
Bila Pengadilan Tinggi ternyata memutuskan yang bersifat
menguatkan putusan Pengadilan Negeri yang isinya
mengabulkan gugatan si penggugat, maka
dalam amar putusan hakim Pengadilan Tinggi perlu
ditambahkan bahwa
pernohonan sita jaminan yang telah dikabulkan oleh Pengadilan Negeri tersebut dinyatakan sah dan berharga.
Sebaliknya, bila Pengadilan Tinggi
membatalkan putusan Pengadilan Negeri, maka dalam
amar putusan hakim
harus ditambahkan pernyataan bahwa sita jaminan itu dicabut atau diangkat.
Untuk
memberikan perlindungan kepada si tergugat, maka setiap saat tersita dapat mengajukan permohonan kepada hakim yang
memeriksa pokok perkara tersebut, agar sita jaminan
yang dijatuhkan atas benda nmiliknya itu untuk
diangkat atau dicabut. Permohonan pencabutan sita
jaminan ini dari si
tergugat dapat saja dikabulkan oleh hakim, bila nyata-nyata si tergugat
tersebut telah menyediakan tanggungan atau jaminan yang memadai. Hal yang sama dapat juga dilakukan bila
ternyata sita jaminan tersebut tidak efektif dan tidak
ada gunanya atau barang yang telah disita
tersebut nyata-nyata bukan kepunyaan si tergugat tersebut. Benda-benda yang
dapat disita conservatoir meliputi:
a.
Benda bergerak milik debitor (tergugat);
b.
Benda tetap milik debitor; dan
c.
Benda bergerak milik debitor yang sedang berada di pihak
ketiga.
Adapun
mengenai benda bergerak dan benda tetap atau tidak bergerak mempunyai arti yang berbeda, yaitu :
Benda
bergerak berdasarkan Pasal 505 KUH Perdata adalah benda yang dapat dihabiskan atau tidak dapat dihabiskan, kebendaan dikatakan dapat dihabiskan, bilamana karena dipakai, menjadi
habis.
Sedangkan
menurut Pasal 509 KUH Perdata, kebendaan bergerak
karena sifatnya
ialah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan.
C.
Gugatan
Gugur putusan Vrestek
·
Putusan Gugur
Apabila pada sidang pertama perkara
perdata yang telah ditentukan ternyata penggugat tidak hadir tanpa
alasan yang dapat dibenarkan dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir,
sedang ia sudah dipanggil secara patut, maka hakim dapat menjatuhkan putusan
menggugurkan gugatan atau gugatan dianggap gugur dan tidak berlaku lagi, dan
bersamaan dengan itu menghukum penggugat membayar biaya perkara, akan tetapi
penggugat yang gugatannya telah dinyatakan gugur tersebut masih berhak untuk
mengajukan kembali gugatannya setelah terlebih dahulu membayar biaya perkara
(Pasal 124 HIR/Pasal
148 RBg).
Jika penggugat hadir pada sidang pertama kemudian tidak
hadir pada sidang-sidang berikutnya, perkara diperiksa dan diputuskan secara contradictoir.
Apabila pada sidang pertama yang telah
ditentukan ternyata tergugat tidak hadir tanpa alasan yang dapat dibenarkan
dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir, sedang ia sudah dipanggil secara
patut, maka hakim dapat memutuskan gugatan penggugat dapat diterima karena
tergugat tidak hadir putusan verstek, kecuali jika gugatan penggugat
melawan hukum atau tidak beralasan (Pasal 125 HIR/Pasal 149 RBg).
Terhadap putusan verstek tergugat
berhak mengajukan perlawanan (verzet) kepada pengadilan negeri yang memeriksa
perkara tersebut (Pasal 125 ayat (3), Pasal 129 HIR/Pasal 149 ayat (3) dan
Pasal 153 RBg).
1) Gugatan Melawan
Hukum
Gugatan melawan hukum (onrechtmatige daad) artinya
gugatan itu bertentangan dengan hukum atau tidak berdasarkan hukum, baik
bertentangan dengan hukum perdata maupun hukum acara perdata.
2) Gugatan Tidak
Beralasan
Gugatan tidak beralasan atau tidak terbukti (ongegrond)
apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan atau
peristiwa-peristiwa yang diajukan sebagai dasar gugatan tidak ada hubunganya
dengan tuntutan. Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa yang diajukan sebagai
dasar gugatan tidak terbukti secara sah menurut hukum.
Putusan yang
menyatakan gugatan tidak dapat diterima dimaksudkan sebagai penolakan gugatan
diluar pokok perkara. Sedangkan putusan yang menyatakan gugatan ditolak
merupakan putusan setelah mempertimbangkan mengenai pokok perkara. Jadi,
antara kedua macam putusan itu mempunyai perbedaan yang besar sekali dan
konsekuensi yang berlainan.
Terhadap putusan tidak dapat diterima (niet onvanklijk
verklaard), penggugat masih dapat mengajukan gugatannya kembali kepengadilan
Negeri. Sedangkan terhadap putusan yang menyatakan gugatan ditolak (onzegd),
penggugat tidak dapat mengajukan gugatan lagi ke pengadilan Negeri (ne bis
in idem), tetapi hanya dapat mengajukan permohonan pemeriksaan ditingkat
banding di Pengadilan Tinggi.
Dengan demikian, dalam putusan verstek gugatan penggugat
tidak selalu dikabulkan oleh Pengadilan Negeri, yaitu apabila gugatan
penggugat melawan hukum atau tidak beralasan, sehingga meskipun
tergugat tidak hadir tidak selalu dikalahkan.
D.
Perubahan
dan pencabutan gugatan
·
perubahan gugatan
HIR tidak mengatur
perihal menambah atau mengubah surat gugatan, sehingga hakim leluasa untuk menentukan sampai dimana penambahan atau
perubahan itu akan diperkenankan.
Disinalah tugas hakim untuk menemukan hukumnya ketika suatu persoalan tidak jelas atau belum ada aturan hukumnya.
Menurut pasal 127
Rv perubahan daripada gugatan dibolehkan sepanjang pemeriksaan perkara, asal saja tidak merubah atau menambah
“onderwerp van dein eis” (petitum, pokok
tuntutan). Pengertian “onderwerp van dein eis” ini di dalam praktek meliputi juga dasar daripada tuntutan, termasuk
peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan.
Perubahan gugatan
tidak dibenarkan pada tingkat dimana pemeriksaan perkara sudah hampir selesai pada saat mana dalil-dalil tangkisan dan
pembelaan sudah habis dikemukakan dan
kedua belah pihak sebelum itu sudah mohon putusan. Mengenai perubahan gugatan Mahkamah Agung berpendapat bahwa
apabila tidak melampaui batas-batas materi pokok pertama
yang dapat menimbulkan kerugian pada hak pembelaan para
tergugat dapat dikabulkan. Dalam putusannya Tanggal. 6 Maret 1971 No. 209 K/Sip/1970 telah memutuskan, bahwa suatu perubahan
tuntutan tidak bertentangan dengan azaz-azaz
hukum acara perdata, asal tidak merubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair untuk
peradilan yang adil.
Pasal 39 dari
staatsblad 1932-80 tentang peradilan adat juga memperbolehkan kepada hakim adat untuk mengizinkan mengubah atau menambah
permohonan gugat, kecuali kalau dengan
itu kepentingan yang sesuai dengan hokum terlalu sangat merugikan.
·
pencabutan gugatan.
Mencabut gugatan
adalah tindakan untuk menarik kembali suatu gugatan yang telah didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri. Ada
banyak alasan mengapa gugatan itu harus ditarik
kembali. Diantaranya karena ketidak lengkapan pihak-pihak yang menjadi tergugat, karena telah tercapai kesepakatan atau
perdamain diantara para pihak, tuntutan penggugat
telah dipenuhi oleh tergugat dan lain-lain. Ketentuan
pencabutan gugatan ini tidak di atur dalam ketentuan HIR maupun RBG.
Berbeda halnya jika
pencabutan gugatan itu dilakukan setelah tergugat memberikan jawabannya di pengadilan. Maka persetujuan dari pihak
tergugat mutlak harus dilakukan. Hal
ini menurut Prof.
Sudikno Mertokusumo, SH didasarkan pada pemikiran adanyakemungkinan besar
sekali bahwa tergugat telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menanggapi gugatan penggugat, tergugat sudah terlanjur
mengeluarkan biaya banyak, nama
baiknya tersinggung: baginya lebih baik kalau perkaranya dilanjutkan. Oleh karena kemungkinan timbul pertentangan kepentingan antara
penggugat dan tergugat, maka untuk
pencabutan gugatan sesudah tergugat memberi jawabannya perlu dimintakan persetujuan dari tergugat.
Penggugat dapat
mengajukan lagi gugatannya apabila pencabutan itu dilakukan sebelum tergugat memberi jawabannya, namun pencabutan gugatan
sesudah tergugat memberi jawaban
dapat dianggap bahwa penggugat telah melepaskan haknya, sehingga tidak boleh mengajukannya lagi. Menurut pasal 30 AB
pencabutan gugatan tidak dapat menghentikan atau
menunda tuntutan pidana. Sebaliknya pasal 29 AB menentukan selama tuntutan pidana berjalan, maka tuntutan ganti kerugian
dalam perkara perdata yang timbul dari
perbuatan pidana tersebut terhenti atau ditunda.
E.
Perdamain
Beradasarkan
ketentuan ayat 1 pasal 130 HIR, hakim sebelum memeriksa suatu perkara perdata diharuskan untuk berusaha mendamaikan kedua
belah pihak. Perdamaian itu tentunya
merupakan putusan yang lebih baik bagi para pihak dari pada harus diputuskan oleh hakim, karena dapat menyelesaikan persoalan
yang ada secara tuntas yang dapat diterima
oleh kedua belah pihak.
Hubungan sosial
kemasyarakat pihak-pihak yang bersengketa-pun bisa terjalin baik kembali. Hal ini berbeda jika sengketa itu tidak
terselesaikan dengan perdamaian tetapi harus
diputus biasa, besar kemungkinan salah satu atau para pihak belum tentu menerimanya dengan lapang dada karena dalam putusan itu pasti
ada yang dikalahkan dan dimenangkan. Apabila perdamaian itu dicapai di dalam proses persidangan
yang dimediasi oleh hakim lalu di
buatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati isi dari akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian semacam ini
kekuatan mengikatnya sama dengan suatu
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van ewijsde).
Perdamaian
merupakan persetujuan antara dua pihak untuk mengakhiri sengketa. Tentu hal ini terjadi karena didasari atas “mau sama mau”
sehingga menurut ketentuan ayat 3 pasal 130
HIR., yang bersangkutan, tidak diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding atau kasasi.
Berbeda dengan
perdamaian yang dilakukan oleh pihak-pihak di luar sidang. Hasil dari perdamaian ini hanya berkekuatan sebagai persetujuan ke
dua belah pihak saja, yang apabila tidak ditaati
oleh salah satu pihak, masih harus diajukan melalui suatu proses di pengadilan.
Pernyataan dari
kuasa hukum tergugat yang tidak berkeberatan atas dicabutnya gugatan tersebut juga menjadi dasar di kabulkannya pencabutan
gugatan tersebut oleh majelis hakim.
Mengingat pencabutan gugatan tersebut dilakukan setelah perkaranya diperiksa di pengadilan, sehingga harus dimintakan
persetujuannya kepada para tergugat.
Dengan telah
dilakukannya pencabutan gugatan tersebut, maka hal itu menjadi suatu bukti bahwa sengketa para pihak telah berakhir yang
tidak dapat dimintakan banding atau
kasasi, mengingat kekuatan hukum akta perdamaian tersebut mempunyai kekuatan hukum seperti putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
F.
Eksepsi
Jawaban Tergugat, Rekonveksi, Intervensi Serta Replik Dan Duplik
Dalam pemeriksaan perkara dipersidangan pengadilan negeri
jawab menjawab antara kedua belah pihak merupakan hal yang sangat penting.
Jawaban tergugat dapat berupa pengakuan, berupa bantahan, tangkisan dan dapat
pula berupa referte. Pengakuan ialah jawaban yang membenarkan isi gugatan.
Bantahan ialah pernyataan yang tidak membenarkan atau tidak
mengakui apa yang di gugatkan terhadap tergugat. Jika tergugat mengajukan
bantahan , maka bantahannya itu disertai alasan alasan.. jika bantahan tidak di
sertai alasan alasan maka itu sama sekali tidak ada artinya dimata hakim.
- Rekovensi ( gugatan balasan )
Rekovensi diatur dalam pasal 132 a dan 132b HIR yang di
sisipkan dengan stb.1927-300 dua pasal dimana mengambil alih pasal pasal
244-247 B.Rv dalam RBg. Diatur dalam pasal 157 dan 158. Yang dimaksud rekovensi
adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat , berhubung penggugat juga
melakukanWanprestasi terhadap tergugat.
Yang dimaksud intervensi menurut ketentuan pasal 279 B.Rv
barang siapa yang mempunyai kepentingan dalam suatu perkara yang sedang
doperiksa di pengadilan, dapat ikut serta dalam perkara tersebut dengan jalan
menyertai (Voeging) atau menengahi (tussenkomst). Dari ketentuan pasal ini
dapat disimpulkan bahwa intervensi itu adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam
suatu perkara yang sedang berlangsung, apabila ia mempunyai kepentingan (belang
interest ). Jadi syaratnya harus ada kepentingan caranya ialah dengan jalan
menyertai salah satu pihak atau menengahi melawan kedua belah pihak.
·
Replik
Replik merupakan tahapan persidangan yang diberikan kepada
Penggugat dimana Penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan hak
perdatanya atas sanggahan yang diberikan Tergugat berupa tanggapannya atas
Jawaban yang diberikan Tergugat .Relpik tidak diatur dalam HIR namun diatur
dalam pasal 142 Rv (Reglement op
Rechtsverordering).
Dalam Replik biasanya akan dimasukkan dalil-dalil yang
merupakan sanggahan atau penolakan atas sebagian atau seluruh dalil-dalil
Tergugat yang dikemukakan dalam jawabannya.Bila dalam jawaban ada dalil-dalil
yang bertolak belakang dengan dalil Penggugat dalam gugatannya maka pada tahap
replik penggugat akan berusaha memperkuat dalil yang telah dikemukakan tersebut
dengan menambahkan pendapat doktrin atau Yurisprudensi yang berkaitan erat
dengan dalil yang telah dibantah tergugat tersebut. Sehingga kadang-kadang
untuk semakin memperkuat dalil tersebut juga ditambahakan bukti baru yang
menambah kejelasan akan dalil yang telah dikemukakan dalam gugatan semula.
Dalam replik juga dikemukakan dalil baru yang belum pernah dinyatakan dalam
gugatan. Dalil baru tersebut biasanya merupakan dalil yang berdiri sendiri
tetapi posoisinya tetap akan semakin memperkuat dalil-dalil gugatan secara
keseluruhan sebagaimana yang dikemukakan dalam gugatan semula. Dengan demikian
dapat dikatakan dalil-dalail yang dikemukakan penggugat dalam repliknya
merupakan dalil-dalil yang membatah dalil-dalil tergugat dalam jawabannya juga
sekaligus semakin mempertegas dan memperkokoh dalil-dalil yang telah
dikemukakan dalam gugatan semula. Bila ada eksepsi yang dikemukakan tergugat
dalam jawabannya maka penggugat pada repliknya harus memberikan tanggapannya
yang cecara keseluruhan berisi dalil-dalil yang mematahkan eksepsi yang
dikemukakan tergugat tersebut. Dalil-dalil yang dipergunakan penggugat dalam
menangkis eksepsi tersbut harus benar benar mempunyai dasar hukum yang kuat,
karena bila tidak kuat bila dalil eksepsi tersebut merupakan eksepsi yang berkaitan
dengan kompetensi baik yang absolut maupun yang relatif akan membuat majelis
yang memeriksa perkara tersebut menyatakan dirinya tak berwenang untuk
memeriksa tersebut dalam suatu putusan
sela. Bila eksepsi yang diajukan merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok perkara
seperti eksepsi ne bis in idem maka
dalam replik tersebut harus dimuat dalil-dalil yang mematahkan atau setidaknya
melemahkannya. Kalau perlu diajukan bukti-bukti yang mendukungnya beserta
yurisprudensinya yang mempunyai criteria/batasan apa yang dimaksud dengan ne
bis in idem tersebut.Demikian pula bila ada eksepsi-eksepsi lain maka penggugat
dalam repliknya harus memberikan tanggapan atas eksepsi tersebut apakah
membenarkan atau menolaknya. Demikian pula pada bagian pokok perkara dalam
replik maka ada klausul yang harus dimuat disana.
Pertama adalah menyatakan bila pada bagian eksepsi yang
berisi sanggahan atau penolakan atas dalil eksepsi tergugat merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya tersebut. Hal ini penting
dinyatakan karena hampir sebagian besar eksepsi merupakan eksepsi yang termasuk
dalam pokok perkara sehingga harus diperiksa dan diputus bersama-sama dalam
pokok perkara pada putusan akhir.
Kedua, klausul yang berisi penolakan atas sebagian atau seluruhnya
dari dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat dalam jawabannya dan
menyatakan diakui bila ada pengakuan sepanjang memang diakui oleh
penggugat. Kmeudian penggugat harus menetukan sikap dan kejelasan pokok
masalahnya atas setiap dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat satu demi
satu. Penolakan itu harus dimuat dalam repliknya satu demi satu. Bila ternyata
dalil-dalail dalam jawaban tersebut mempunyai kesamaan maka penggugat dalam
menanggapinya bisa memasukan penolakannya tersebut dalam suatu kesatuan. Bila
dalam jawaban tergugat mengajukan eksepsi maka petitum dari replik juga
mengalami pergeseran bentuk yang tidak sama dengan petitum dalam gugatan dan
petitum dalam jawaban sepanjang mengenai
eksepsinya.
·
Duplik
Duplik merupakan tahapan yang dimiliki tergugat. Dalam
membuat duplik tergugat diharapkan dalil-dalilnya tidak bertentangan dengan
dalil-dalilnya yang dimuat dalam jawaban.
Bila dalam jawaban ada eksepsi yang kemudian eksepsi
tersebut ditanggapi oleh penggugat dalam repliknya, maka tergugat dalam tahap ini harus memuat dalil-dalil yang
pada dasarnya semakin memperkuat dalilnya semula. Kemudian dalil tersebut dapat
merupakan pendapat doktrin atau yurisprudensi yang berkaitan erat dengan apa
yang dikemukakan dalam dalil tersebut.
Bila perlu dalil tersebut sekaligus juga harus dapat
mematahkan atau setidaknya melemahkan dalil yang dikemukakan penggugat dalam
repliknya.
Kemudian
dalam pokok perkara sama dengan replik ada dua klausul yang harus dimuat.
Pertama, berisi pernyataan agar dalil-dalil yang dikemukakan pada bagian
eksepsi dianggap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya.
Kedua, merupakan pernyatan yang menolak dalil-dali penggugat secara
keseluruhan, kecuali memang ada dalil yang diakui olehnya.
Kemudian dalil-dalil
pada replik harus satu demi satu dibantah/ditolak atau mungkin diakui
oleh tergugat. Sedang bentuk petitumnya memakai
model yang sama dengan replik namun isinya tentunya harus bertentangan dengan
apa yang dikemukakan pada replik tersebut.
BAB. III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan pembahasan diatas
dapat kita simpulkan bahwa dalam pemeriksaan perkara didepan pengadilan
memiliki beberapa tahap, yaitu :
1.
Penentuan hari sidamg dan Pemanggilan
Para Pihak Dalam Sidang Pengadilan Perdata.
2.
Sita Jaminan
3.
Gugatan Gugur putusan Vrestek
4.
Perubahan dan pencabutan gugatan
5.
Perdamain
6.
Eksepsi Jawaban Tergugat, Rekonveksi,
Intervensi Serta Replik Dan Duplik
B.
Saran
dan keritik
Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca memperkaya khasanah perpustakaan serta bermanfaat bagi
semua pihak. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna
kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R)
Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata
Indonesia. Yogyakarta : Liberty. Edisi VII
Moh.
Taufik Makaro, SH. MH, 2004. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta:
PT. Rineka Cipta
Riduan Syahrani, S.H., 2009. Buku
Materi Dasar Hukum Acara Perdata,
Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti
Reglement Biusten Govesten (RBg)
Komentar
Posting Komentar