Riba dan Bunga Bank
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Maslah
Pada mulanya riba merupakan suatu tradisi bangsa Arab pada
jual beli maupun pinjaman dimana pembeli atau penjual, yang meminjam atau yang
memeberi pinjaman suatu barang atau jasa dipungut atau memungut nilai yang jauh
lebih dari semula, yakni tambahan (persenan) yang dirasakan memberatkan.
Namun setelah Islam datang, maka tradisi atau praktek seperti
ini tidak lagi diperbolehkan, dimana oleh Allah SWT menegaskan dengan
mengharamkannya dalam Al-Qur’an (baca ; ayat dan hadist yang melarang riba),
bahkan oleh Allah dan RasulNya akan memusuhi dan memeranginya apabila tetap
melanggarnya, yang demikian itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dan juga
kebaikan umat manusia.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian riba dan perbedaannya dengan bunga bank?
2. Apa saja jenis
atau macam-macam riba?
3. Bagaimana
Al-Qur’an dan Hadits memandang riba?
4.Bagaimana hukum
bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum mendirikan bank Islam?
C.
Maksud dan Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian riba dan perbedaannya dengan
bunga bank
2. Dapat mengetahui Jenis atau
macam-macam riba
3. Mampu memahami Ayat dan Hadist yang melarang riba
4.
Mengetahui Hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum mendirikan bank
Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riba
1.
Pengertian Riba
Asal makna riba menurut bahasa Arab (raba-yarbu) atau
dalam bahasa Inggrisnya usury/interest ialah lebih atau bertambah (ziyadah/addition)
pada suatu zat, seperti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.[1]
Misalnya si A memberi pinjaman kepada si B, dengan Syarat si B harus
mengembalikan uang pokok pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Riba dapat
diartikan juga dengan segala jual beli yang haram. Adapun yang dimaksud disini
menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran
tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut syara’, atau
terlambat menerimanya.
2.
Beberapa Macam Riba
Secara umum riba terbagi menjadi dua bagian, yakni riba nasi’ah
dan riba al-fadhl.[2]
·
Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah (riba yang jelas, diharamkan karena
keadaanya sendiri) diambil dari kata an-nasu’, yang berarti menunda,
jadi riba ini terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang. Penjelasannya
sebagai berikut.
Tambahan yang disyaratkan, yang diambil oleh orang yang
memberi hutang dari orang yang berhutang. Misalnya, si A meminjam satu juta rupiah
kepada si B dengan janji waktu setahun pengembalian hutangnya. Setelah jatuh
temponya, si A belum bisa mengembalikan hutangnya kepada si B, maka si A
menyanggupi untuk memberi tambahan dalam pembayaran hutangnya.jika si B mau
menambah/menunda jangka waktunya. atau si B menawarkan kepada si A, “apakah
engkau akan membayarnya atau menundanya kembali dengan menanggung bunga?” Jika
si B membayarnya, maka ia tidak dikenakan tambahan. Sedangkan jika tidak dapat
membayarnya, maka ia menambahkan tangguh pembayaran dengan syarat bahwa ia
nantinya harus membayarnya dengan tambahan. Sehingga, akhirnya harta yang
menjadi tanggungan hutang orang tersebut pun menjadi terlipat ganda. Hal ini
merupakan praktek/kebiasaan Jahiliyah, Oleh karena itu, Allah mengharamkan hal
itu, dengan firmannya:
“
Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan.” (al-Baqarah: 280)
Maka dari itu jika waktu hutang tersebut sudah jatuh tempo,
semantara orang yang berhutang itu kesulitan membayarnya, maka ia tidak boleh
membalikan hutang tersebut kepadanya, tapi harus siberikan tempo lagi.
Sedangkan jika orang yang berhutang itu berpunya, dan tidak sedang kesulitan,
maka ia harus membayar hutangnya, dan tidak perlu menambah nilai tanggungan
hutangnya itu, baik orang yang berhutang itu sedang mempunyai uang atau sedang
sulit.
·
Riba Fadhl
Riba fadhl (riba yang samara, diharamkan karena sebab
lain) berasal dari kata al-fadhl, yang berarti tambahan dalam salah satu
barang yang dipertukarkan. Riba ini terjadi karena adanya tambahan pada jual
beli benda/barang yang sejenis.
Jadi syariat telah menetapkan keharamannya dalam enam hal,
yakni diantaranya adalah emas, perak, gandum, kurma, garam. Dan jika salah satu
barang-barang ini diperjual belikan dengan jenis yang sama, maka hal itu
diharamkan jika disertai dengan adanya tambahan antara keduanya. Hal ini senada
dengan apa yang dikatakan oleh Sayid Sabiq bahwa riba fadhl ialah jual
beli emas/perak atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan (yang
sejenis) dengan ada tambahan.
Hal ini berdasarkan dari hadist Nabi yang disampaikan Abu
Said al-Khudri (yang juga hampir senada dengan hadist yang disampaikan oleh
‘Ubadah bin al-Shamit ):[3]
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandunm, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama dan tunai. Maka
barang siapa yang meminta tambahan maka sesungguhnya ia memungut riba. Orang
yang mengambil dan memberikan riba itu sama dosanya.” (H.R. Ahmad, Muslim
dan Nasa’i)
Riba ini diharamkan karena untuk mencegah timbulnya riba nasi’ah,
sehingga ia bersifat prefentif. Sebagian Ulama ada yang membedakan
antara riba nasi’ah dengan riba fadhl seperti membedakan antara
berbuat zina dengan memandang atau memegang wanita yang bukan mahramnya dengan
nafsu syahwat. Memandang atau memegang wanita seperti itu diharamkan karena
untuk menghindari perbuatan zina. .
Sebagian
Ulama ada yang menambahkan selain kedua jenis riba tersebut diatas, yakni riba yad,
yaitu riba yang dilakukan karena berpisah dari tempat akad sebelum serah
terima terjadi. Kemudian Riba qardi yaitu hutang dengan syarat
ada keuntungan bagi yang memberi hutang. Namun secara umum keduanya termasuk
kedalam jenis riba nasi’ah dan riba fadhl.
Pada dasarnya semua agama samawi di dunia (revealed
religion) melarang praktek riba, karena dapat menimbulkan dampak bagi
masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat riba pada khususnya.
Adapun
dampak akibat praktek dari riba itu sendiri diantaranya adalah sebagai berikut:
[4]
1.
Menyebabkan eksploatasi (pemerasan) oleh si kaya
terhadap si miskin, sehingga menjadiakan si kaya semakin berjaya dan si miskin
tambah sengsara
2.
Dapat menyebabkan kebangkrutan usaha bila tidak
disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif, karena kebanyakan modal yang
dikuasai oleh the haves (pengelola) justru disalurkan dalam perkreditan
berbunga yang belum produktif.
3.
Menyebabkan kesenjangan ekonomi, yang pada gilirannya
bisa mengakibatkan kekacauan social
3.
Ayat dan Hadist yang Melarang Riba
1. Firman Allah SWT :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan
bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Ali Imran :
130)
2. Firman
Allah SWT :
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
“Orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
Telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil
riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah : 275)
3. Firman
Allah SWT :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& w cqßJÎ=ôàs? wur cqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah,
bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.” (Al-Baqarah : 278-279)”
4. Firman
Allah SWT
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).” (Ar-Rum : 39)
5. Sabda
Nabi SAW
“Dari Jabir : Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk)
orang yang memakan riba, wakilnya, penulisnya dan dua saksinya” (HR.
Muslim)
B. Bunga
Bank
Bunga bank sendiri dapat diartikan berupa ketetapan nilai
mata uang oleh bank yang memiliki tempo/tenggang waktu, untuk kemudian pihak
bank memberikan kepada pemiliknya atau menarik dari si peminjam sejumlah bunga
(tambahan) tetap sebesar beberapa persen, seperti lima atau sepuluh persen.
Dengan kata lain bunga bank adalah sebuah system yang
diterapkan oleh bank-bank konvensional (non Islam) sebagai suatu lembaga
keuangan yangmana fungsi utamanya menghimpun dana untuk kemudian disalurkan
kepada yang memerlukan dana (pendanaan), baik perorangan maupun badan usaha,
yang berguna untuk investasi produktif dan lain-lain.
Bunga bank ini termasuk riba, sehingga bunga bank juga
diharamkan dalam ajaran Islam. Bedanya riba dengan bunga/rente (bank) yakni
riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan bunga/rente (bank)
adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif.
Namun demikian, pada hakikatnya baik riba, bunga/rente atau semacamnya
sama saja prakteknya, dan juga memberatkan bagi peminjam.
Maka dari itu solusinya adalah dengan mendirikan bank Islam.
Yaitu sebuah lembaga keuangan yang dalam menjalankan operasionalnya menurut
atau berdasarkan syari’at dan hukum Islam. Sudah barang tentu bank Islam tidak
memakai system bunga, sebagaimana yang digunakan bank konvensional.
Sebab system atau cara seperti itu dilarang oleh Islam.
Sebagai pengganti system bunga tersebut, maka bank Islam
menggunakan berbagai macam cara yang tentunya bersih dan terhindar dari hal-hal
yang mengandung unsur riba. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Wadiah (titipan uang, barang, dan surat berharga
atau deposito). Bisa diterapkan oleh bank Islam dalam operasionalnya menghimpun
dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan
surat-surat berharga sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank
Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar
imbalannya tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu kepada waktu
pemiliknya membutuhkan
2.
Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal
dengan pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss sharing).dengan
cara ini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk
perusahaannya baik besar maupun kecil dengan perjanjian bagi hasil dan rugi
yang perbandingannya sama sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty.
Dalam mudharabah ini, bank tidak mencapuri manajeman perusahaan.
3.
Musyarakah/ syirkah (persekutuhan). Di bawah
kerja sama cara ini, pihak bank dan pihak perngusaha mempunyai peranan (saham)
pada usaha patungan (joint venture.) karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi
mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar
perjanjian tersebut.
4.
Murabahah (jual beli barang dengan tambahan
harga atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur).
Dengan cara ini, orang pada hakikatnya ingin merubah bentuk bisnisnya dari
kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli (lending activity
menjadi sale and purchase transaction). Dengan system ini, bank bias
membelikan/menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk
dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost plus) atas harga
pembelinya. Syarat bisnis dengan murabahah ini ialah si pemilik barang
dalam hal ini bank harus memberi informasi yang sebenarnya kepada pembeli
tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit margin)
daripada cost plus-nya itu.
5.
Qargh Hasan (pinjaman yang baik atau bernevolent
loan). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan)
kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank
Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para
deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.
6.
Bank Islam juga dapat menggunakan modalnya dan dana
yang terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang usaha yang
profitable. Dalam hal ini, bank sendiri yang melakukan manajemennya secara
langsung, berbeda dengan investasi patungan, maka manajemennya dilakukan oleh
bank bersama partner usahanya dengan perjanjian profit and loss sharing.
7.
Bank Islam boleh pula mengelola zakat di Negara yang
pemerintahnya tidak mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga dapat
menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif,
yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
8.
Bank Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran
untuk :
1.
Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh
bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepetingan nasabah, misalnya biaya
telegram, telpon, telex dalam memindahkan atau memberitahukan rekening nasabah
dan sebagainya.
2.
Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan
pekerjaan untuk kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan prasarana yang
disediakan oleh bank, dan biaya administrasi pada umumnya.
C. Hukum
Bermuamalah dengan Bank Konvensional dan Hukum Mendirikan Bank Islam
Pada masa zaman kehidupan modern seperti saat sekarang ini,
umat Islam hampir tidak dapat menghindari diri dari bermuamalah dengan bank
konvensional yang memakai system bunga itu dalam segala aspek kehidupannya,
termasuk dalam beragama. Misalkan ibadah Haji di Indonesia umat Islam harus
memakai jasa bank, apalagi dalam hal kehidupan ekonomi sulit untuk bisa lepas
dari jasa bank itu sendiri. Sebab tanpa jasa bank tersebut, perekonomian
Indonesia mungkin tidak akan selancar dan semaju seperti sekarang. Namun para
ulama dan cendikiawan Muslim sendiri hingga kini masih tetap berbeda pendapat
tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga banknya.
Perbedaan
pendapat mereka tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Pendapat Abu Zahrah (Guru Besar Fakultas Hukum,
Universitas Cairo), Abul A’la Maududi (Pakistan), Muhammad abdullah Al-‘Arabi
(Penasihat Hukum pada Islamic Congres Cairo), dan lainnya yang sependapat
menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah, yang dilarang oleh agama Islam.
Oleh karena itu umat Islam tidak diperkenankan bermuamalah dengan bank yang
memakai sistem bunga, terkecuali memang benar-benar dalam keadaan darurat atau
terpaksa, dengan syarat mereka itu mengharapkan dan menginginkan lahirnya bank
Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.
2.
Pendapat A. Hasan pendiri dan Pemimpin Pesantren Bangil
(Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di Negara kita ini bukan
riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan
dalam surat Ali Imran ayat 130.
3.
Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo (Jawa
Timur) tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh
bank-bank Negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya adalah
termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya tidak/belim jelas halal haramnya.
Maka sesuai dengan petunjuk Hadits, kita harus berhati-hati menghadapi
masalah-masalah yang semisal ini. Karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa
atau kita dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak/penting barulah
kita diperbolehkan bermuamalah dengan bank yang menggunakan sistem bunga bank
itu dengan batasan-batasannya yang telah ditetapkan dalam agama.
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’ (Guru Besar Hukum Islam dan
Hukum Perdata Universitas Syria), bahwa sistem perbankan yang kita terima
sekarang ini sebagai realitas yang tak dapat kita hindari. Karenanya umat islam
diperbolehkan (mubah) bermuamalah dengan bank konvensional itu atas
pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Sebab umat Islam
harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa adanya system
bunga/riba, demi menyelamatkan umat Islam dari cengkraman budaya yang tidak
Islami.
Dari sini kemudian kita dapat mengetahui alasan para ulama
maupun cendikiawan Muslim menganjurkan berdirinya bank Islam yakni sebagai
berikut :
1.
Agar umat Islam tidak selalu berada dalam keadaan
darurat dan menghindarkannya dari hal-hal yang bersifat subhat/haram
2.
Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga,
riba, rente dan sebagainya yang mengandung unsur pemaksaan atau pemerasan
(eksploitasi) oleh yang berekonomi kuat terhadap yang berekonomian lemah, dan
juga menghindarkan dari ketimpangan yang menjadikan si kaya makin kaya dan si
miskin menjadi semakin miskin
3.
Guna melepaskan ketergantungan umat Islam terhadap
bank-bank konvensional (non-Islam) yang mengandung unsur syubhat/haram, dan
menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan asing, yang itu membuat keterpurukan
dan melemahnya ekonomi Islam, sehingga umat islam tidak dapat menerapkan ajaran
agamanya secara menyeluruh dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.
4.
Untuk mengaplikasikan ketentuan kaidah fiqh, “al
khuruuju minal khilafi mustahabbun” (menghindari perselisihan ulama itu
sunnah hukumnya), sebab ternyata hingga kini ulama maupun para cendikiawan
Muslim masih saja terjadi perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah,
khusunya dengan bank-bank non Islam (konvensional), karena masalah bunga dan semacamnya
itu masih tetap kontroversial dan tidak jelas hukumnya (haram/syubhat/halal).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara umum Ulama membagi riba itu menjadi dua macam saja,
yaitu riba nasi’ah’ dan riba fadil, sedangkan riba yad
dan Riba qardi termasuk ke dalam riba nasi’ah dan riba
fadhl. Barang-barang yang berlaku riba padanya ialah emas,perak, dan
makanan yang mengeyangkan atau yang berguna untuk yang mengenyangkan, misalnya
garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama jenisnya seperti emas dan dengan
emas, gadum dengan gadum, diperlukan tiga syarat: (1) tunai, (2) serah terima,
dan (3) sama timbangannya. Kalau jenisnya berlianan, tetapi ‘ilat
ribanya satu, seperti emas dengan perak, boleh tidak sama tibangannya, tetapi
mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘ilat ribanya berlainan
seperti perak dengan beras, boleh dijial bagaimana saja seperti barang-barang
yang lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.
Riba (termasuk bunga bank) adalah termasuk dosa besar. Baik
pemberi, penulis dan dua saksi riba adalah sama dalam dosa dan maksiat
denganpemakan riba. Tidak boleh bagi seorang Muslim mengokohkan transaksi riba.
Dianjurkan (bahkan wajib) bagi kaum Muslimin untuk mendirikan bank Islam sesuai
dengan syari’at agama, dan menghindarkan dari segala macam bentuk/praktek riba
B.
Kritik dan Saran
Demikian
makalah ini kami selesaikan sebagai salah satu tugas perkuliahan pada semester
enam ini. Namun kami dari kelompok 4 sebagai penyusun, menyadari terdapat
kekurangan maupun kekhilafan atau kesalahan, baik dalam penyelesaian maupun
pemaparan dari makalah kami ini.
Dari
itu, kami sangat mengharap dari para pembaca atau pendengar sekalian, baik
teman-teman maupun Bapak Dosen sebagai pembimbing dalam mata kuliah ini, untuk
turut serta dalam memberikan kritik yang membangun dan saran yang baik tentunya
agar kedepannya nanti kami akan dan bisa menjadi lebih maju dan baik dari
sebelumnya. Amin…ya rabbal ‘alamin !
Daftar pusataka
Ahmad Azhar Basyir, 1983. Hukum Islam Tentang Riba, Untung-Piutang, Gadai, al-Ma’arif, Bandung,
Masjfuk Zuhdi, 1997. Masail Fiqhiyah, Gunung Agung, Jakarta,
Sulaiman
Rasjid, 2006. Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung,
[1] Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam,
Lahore, The Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1950, hlm. 721.
[2] Abdurrahman Isa Ibnu Qayyim al-Zauji, Al-Muamalat
al-Hadits wa Ahkamuha. Mesir:…
[3] Al-Suyuti, Al-Jami’ al-Shaghir,
vol.1, Cairo, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1954, hlm. 10
[4] Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah, Jakarta, Gunung Agung, 1997, hlm. 103
mantap gan. kunjungi blog saya pevino.blogspot.com
BalasHapus