BAB. I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh
karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering
lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim
Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri
Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di
dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalab barang terlarang dalam
pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.
Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang
merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa
terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.
Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik
temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul
berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan
di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba
dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah
menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen
dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
B. Rumusan masalah
1. Membahas tentang ayat Riba
2.
Mengelompok
kan macam-macam Riba
C. Tujuan
Pembahasan
1. Mengetahui
apa itu Riba
2. Mengetahui
macam-macam Riba
BAB.
II. PEMBAHASAN
Ayat-ayat riba: Q.S. al-baqarah;
275-281, Q.S. Ar rum: 39,
Q.S. An nisa: 160-161 dan Q.S.
Ali imran: 130
A. Ayat
riba
Artinya:
275.Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
276.Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
277. Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
278. Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa
Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.
280. Dan
jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih
baik bagimu, jika kamu Mengetahui.
281.
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu
kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi
balasan yang Sempurna terhadap apa yang Telah dikerjakannya, sedang mereka
sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). Qs. Al-Baqarah 275-281
Dalam bukunya As-Shabuni telah
menjelaskan secara rinci akan penafsiran surat
al-Baqarah 275-281. Yang mana sebelumnya telah disebutkan bahwa pada surat inilah riba
diharamkan secara keseluruhan (kulliy). Maka dari itu tidak perlu menafsirkan
semua ayat riba diatas cukup ayat terakhir saja yang perlu kita tafsirkan
sedang ayat lainnya sebagai penguat akan diharamkannya riba.
1.
Maksud “ya’kuluna” pada surat Al-Baqarah ayat 275 diatas adalah
mengambil dan membelanjakannya. Tetapi disini dipakai dengan kata makan karena
maksud utama harta adalah untuk dimakan. Kata makan ini sering pula
dipakai dengan arti mempergunakan harta orang lain denagn cara yang tidak
benar.
2.
Pemakan riba disamakan dengan orang orang yang
kesurupan adalah suatu ungkapan yang halus sekali, yaitu Allah memasukan riba
ke dalam perut mereka itu, lalu barang itu memberatkan mereka.hingga mereka
sempoyongan bangun jatuh. Itu menjadi tanda dihari kiamat sehingga semua orang
mengenalnya. Begitulah seperti yang dikatakan sa’id bin jubair.
3.
Perkataan “innama l bai’u mitslu riba” itu disebut
tasybih maqlub (persamaan terbalik. Sebab musyabah bih-nya memiliki nilai lebih
tinggi. Sedang yang dimaksud disini ialah: riba itu sama dengan jual beli. Sama
sama halalnya. Tetapi mereka berlebihan dalam kenyakinannya, bahwa riba
itu dijadikan sebagai pokok dan hukumnya halal, sehingga dipersamakan dengan
jual beli. Disinilah letak kehalusannya.
4.
Yang menjadi titik tinjauan dalam ayat 276 bahwa periba
mencari keuntungan harta dengan cara riba dan pembangkang sedekah mencari
keuntungan dengan tidak mengeluarkan sedekah. Untuk itulah Allah menjelaskan
bahwa riba menyebabkan kurangnya harta dan tidak berkembangnya harta.sedang
sedekah menyebabkan berkemabngnya harta bukan pengurang harta.
5.
Kata “harb” dalam bentuk nakirah.adalah untuk
menunjukan besarnya persoalan ini. Lebih lebih ini di nisbatkan kepada Allah
dan rasul-Nya. Seolah olah Allah mengatakan; Percayalah akan ada suatu
peperangan dasyat dari Allah dan Rasul-Nya yang tidak dapat dikalahkan.
6.
Perkataan “kaffar” dan “atsiem” kedua kata ini termasuk
sighat mubalaghah yang artinya; banyak kekufuran dan banyak dosa. Ini
menunjukan bahwa perbuatan haramnya riba ini sangatlah keras sekali. Dan
termasuk perbuatan orang orang kafir bukan perbuatan orang orang muslim.
7.
Perkataan “wa inkana dzuu ‘usratin fa nadhiratun ila
maysarah” itu memberikan semangat kepada pihak yang menghutangi supaya
benar benar memberikan tempo kepada pihak yang berhutang sampai ia benar
benar mampu. Anjuran ini juga ada pada sunnah Nabi, HR Bukhari
8.
Sebagian ulama berkata; barang siapa yang merenungkan
ayat ayat diatas dengan segala kandungannya seperti tentang siksaaan pemakan
riba orang yang menghalalkan riba serta besarnya dosanya, maka ia akan tahu
akan keadaan mereka nanti di Akherat.
`Ayat ini turun setelah
terbukanya kota
mekkah. Sebab turunnya adalah sehubungan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada
gubernur kota
mekkah Atab Bin Usaid terhadap bani Tsaqif tentang utang utang yang dilakukan
dengan riba sebelum turun ayat pengharaman riba. Kemudian gubernur mengirimkan surat kepada Rasulullah
SAW melaporkan kejadian tersebut. Surat
tersebut dijawab setelah turunnya ayat 278-279 (HR. Abu Ya’la dalam kitab
musnadnya dan Ibnu Madah Dari Kalabi Dari Abi Salih Dan Ibnu Abbas). Dalam
literatur lainnya menurut Muhammad Ali Ash Shabuni ayat ini turun berkaitan
dengan perkongsian dua orang yaitu al-Abbas dan Khalid Bin Walid secara riba
kepada suku tsaqif sampai Islam datang, kedua orang ini masih mempunyai sisa
Riba dalam jumlah besar. Kemudian turunlah ayat: Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: ”Ketahuilah!! Sesungguhnyatiap tiap riba dari
riba jahiliyah harus sudah dihentikan dan pertma kali riba yang aku henikan
ialah riba Al-abbas dan setiap penuntutan darah dari darah jahiliyah harus
dihentikan dan pertam petma darah yang kuhentikan ialah darah Rabi’ah bin
al-harits”
B.
TAHAPAN PENGAHARAMAN RIBA
Ummat Islam dilarang mengambil
riba apa pun jenisnya. Larangan supaya ummat Islam tidak melibatkan diri dengan
riba bersumber dari berbagai surat
dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah. Larangan riba yang terdapat dalam Al
Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.
1.
Tahap pertama,
Menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada
zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan
mendekati atau taqarrub kepada Allah.
Allah berfirman : (Q.S. Ar Rum: 39)
39.
Dan sesuatu
riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat
demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
2.
Tahap kedua,
Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah
mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Allah berfirman : (Q.S. An Nisa: 160-161)
160. Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
161.
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang
daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.
3.
Tahap ketiga,
Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu
tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir
berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut.
Allah berfirman : (Q.S. Ali Imran: 130).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda[228] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.
[228] yang dimaksud riba di sini ialah riba
nasi’ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi’ah itu selamanya Haram,
walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba
nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,
seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang
dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam
masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara
umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan
syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi
jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek
pembungaan uang pada saat itu.
4.
Tahap terakhir,
Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa
pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang
menyangkut riba, diturunkan pada tahun 9 Hijriyah.
Allah berfirman : (Q.S. Al Baqarah:
278-279)
278. Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.
Ayat ini baru akan sempurna
kita pahami jikalau kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad
bin Jarir Ath Thabary meriwayatkan bahwa:
Kaum Tsaqif, penduduk kota
Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah bahwa semua hutang
mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang ber-dasarkan riba agar
dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja.
Setelah Fathul Makkah,
Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi
kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf
yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak
zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba.
Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak.
Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan (riba) dari Bani
Mughirah – seperti sediakala – tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam
menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah
tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur Itab
langsung menulis surat
kepada Rasulullah dan turunlah ayat di atas.
Rasulullah lantas menulis
surat balasan kepada Gubernur Itaba’ jikalau mereka ridha dengan ketentuan
Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya maka
kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.
C.
DEFINISI DAN MACAM-MACAM RIBA
Secara garis besar Riba yang
diharamkan oleh Islam itu ada dua macam
a.
Riba Nasiah; riba yang sudah ma’ruf dikalangan
jahiliyah. Yaitu, seseorang mengutangi uang dalam jumlah tertentu kepada
seseorang dengan batas tertentu, misalnya dalam sebulan, sebagai imbalan limit
waktu yang diberikan. Masjfuk Zuhdi mengutip pengertian Sayyid Sabiq riba
nasiah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang mengutangi
dari orang yang berutang, sebagai imbangan atas penundaan pembayaraan utang.
Menurut Ibnu Qoyyim yang dikutip oleh Abdurahman Isa riba ini adalah riba yang
jelas. Diharamkan karena keadaannya sendiri. Sebagaimana yang telah di jelaskan
pada asbabun nuzul riba ini telah biasa dilakukan pada masa jahiliyah sampai
sekarang. Dan Riba itulah yang kini sedang dipraktekan di bank-bank
konvensional. Mereka mengambil keuntungan dengan prosentase tertentu dari pokok
pinjaman yang ada.
b.
Riba fadhal; menurut Sayyid Sabiq sebagaimana yang
dikutip oleh Masjfuk Zuhdi adalah jual beli emas/perak atau jual beli bahan
makanan dengan bahan makanan yang sejenis dengan adanya tambahan. Kalau riba
nasiah diharamkan berdasarkan Al-Quran secara jelas sedang riba fadhl secara
jelas ditegaskan dalam hadits Nabi SAW seperti dibawah ini; menurut Ibnu Qoyyim
riba ini termasuk riba samar, yang diharamkan karena sebab lainnya.Emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras (sya’ir) dengan beras
(sya’ir) kurma dengan kurma, garam dengan garam harus ditukar dengan sama dan
kontan. Barang siapa menambah atau meminta tambah, maka berarti dia berbuat
riba, yang menerima dan memberi adalah sama(HR. muslim). Dalam hadits lainnya
dikatakan
Emas dengan emas, perak dengan perak, beras gandum dengn beras gandum, pad
gandum dengan padi gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama
dan tunai. Tetapi kalau jenis jenis itu berbeda, maka juAllah/tukarlah
sesukamu, asal secara kontan (HR. Muslim, Ahmad, abu daud, dan ibnu majah dari
‘ubadah bin ash-shamit) Riba fadhl tidak terbatas pada enam macam barang yang
tersebut dalam hadits diatas saja, tetapi mencakup semau mata uang dan semua
bahan makanan yang mempunyai persamaan illat-nya. Halalkah riba yang sedikit?
`Banyak kalangan berpendapat
bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang keji yang berlipat ganda,
sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Mereka berpendapat bahwa riba yang
sedikit adalah boleh. Mereka berpedoman pada surat Ali Imran ayat 130 “Janganlah kamu
makan riba yang berlipat ganda”. Larangan diatas adalah bersyarat dan terikat
yaitu berlipat ganda. Jadi kalau tidak berlipat ganda atau dalam kata lainnya
jikalau bunganya itu kecil maka tidak jalan menuju pengharamannya. Pendapat
diatas telah dijawab oleh Ash-Shabuni sebagai berikut.
a.
Kata “berlipat ganda (adh’afam Mudha’afan)” itu tidak
dapat dikatakan sebagai syarat atau pengikat. Ini hanyalah waqi’atul ain
(peristiwa yang pernah terjadi pada masa jahiliyah). Sebagaimana telah
dijelaskan pada bab sebelumnya pada sebab sebab turunnya ayat. Menurut didin
hafiduddin kata diatas menunjukan adanya kebiasaan yang terjadai pada
masyarakat waktu itu. Bukan menunjukan sifat dari riba. Jadi pada ayat diatas
tidak ada yang namanya mafhum mukhalafah. Penulis kira kalau dilihat dari
nasikh dan mansukh surat ali imran 130 ini telah
disempurnakan dengan surat
albaqarah 278-279. karena surat ali imran 130
turun lebih dahulu setelah itu surat
albaqarah 278-279
b.
Jumhur ulama sepakat bahwa riba adalah haram hukumnya
baik sedikit atau banyak. Alasan untuk membenarkan riba sedikit adalah untuk
mencari keuntungan sendiri saja. Jadi jika membenarkan riba sedikit maka ia
telah keluar dari ijma’ yang berarti menunjukan atas kebodohannya terhadap
pokok-pokok syariah. Sebab riba sedikit akan membawa atau menyeret pada riba
yang banyak. Islam mengharamkan sesuatu yang diharamkan secara keseluruhan.
Berdasarkan kaidah ”syaddud dzari’ah”). Sekarang kalau ditanya Apakah minum
arak itu jika sedikit saja hukumnya juga halal?
c.
Ash-Shabuni melontarkan pertanyaan yang ditujukan
kepada orang yang belum mengerti juga akan keharaman riba ini. Apakah kalian
mengaku beriman kepada sebagian kitab dan kufur pada sebagian kitab yang
lainnya? Mengapa anda memakai ayat (ali imran 130) sebagai dalil. Bukannya
berdalil dengan surat albaqarah ayat “Dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”,“takutlah kepada Allah dan tinggalkan apa yang tersisa dari
riba”, “Allah menghapus riba dan menyuburkan sedekah” juga hadits Nabi
Rosulullah SAW melaknat orang yang makan riba, yang memberi makan dengan harta
riba, penulis riba dan dua saksi riba, semua itu adalah sama saja. mari kita
reka ulang cara berpikir kita.
D.
DEFINISI RIBA MENURUT PARA ULAMA
Definisi Riba
a.
Menurut Madzhab Maliki “Setiap nama yang diberikan bagi
setiap jual beli yang diharamkan.”
b.
Menurut Madzhab Hanafi Penjelasannya tidak menyeluruh
hanya membahas jual beli. “Jual beli yang ada tambahan (barang sejenis).” Contohnya,
2 kilogram gandum ditukar dengan 2,5 kilogram gandum.
c.
Menurut Madzhab Syafi’I Penjelasan dari madzhab ini
terlalu berbelit-belit, didalamnya membahas tentang riba fadhl dan riba
nasi’ah. “Transaksi terhadap suatu benda dengan ganti yang khusus yang tidak
memiliki kesamaan menurut syara’saat transaksi atau disertai pengakhiran
dua objek transaksi atau salah satu diantara keduanya. ”
d.
Menurut Madzhab Hambali Penjelasan dari madzhab ini
sudah mencakup semua tetapi dibatasi. “Riba adalah ketidaksamaan pada
sesuatu atau dengan cara mengakhirkan sesuatu yang tertentu pada
sesuatu
Dari penjelasan dari
madzhab-madzhab di atas dapat disimpulkan definisi yang mencakup semuanya,
yaitu “ tambahan atas modal yang tidak sesuai syari’at”. Tambahan itu pada
benda sejenis yang diharamkan sedang pada benda yang tidak sejenis apabila
dipertukarkan tidak haram atau tidak riba.
E. HIKMAH
PENGHARAMAN RIBA
Syariat Islam memandang riba
adalah salah satu dosa yang sangat besar dan berbahaya. Maka dari itu Islam
memerangi dan memberantasnya tanpa ampun. Praktek riba ini sangat merugikan
masyarakat. Maka dari itu Islam menganggap perbuatan riba sebagai perbuatan
dosa besar-bahkan termasuk 7 dosa besar yang dilaknat oleh Allah SWT. Sedangkan
sedekah kebalikan dari riba, makanya Allah sangat mengajurkan perbuatan ini.
Karena dengan berlakunya sedekah akan menghidupkan roda kehidupan masyarakat.
Berikut ini beberapa dampak akan bahayanya riba
bagi masyarakat;
a.
Bagi jiwa manusia hal ini akan menimbulkan perasaan
egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri. Riba ini
menghilangkan jiwa kasih sayang, dan rasa kemanusiaan dan sosial. Lebih
mementingkan diri sendiri daripada orang lain.
b.
Bagi masyarakat Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan
menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. Sehingga membuat keadaan tidak
aman dan tentram. Bukannya kasih sayang dan cinta persaudaraan yang timbul akan
tetapi permusuhan dan pertengkaran yang akan tercipta dimasyarakat.
c.
Bagi roda pergerakan ekonomi Dari segi ekonomi, hal ini
akan menyebabkan manusia dalam dua golongan besar yaitu orang miskin sebagai
pihak yang tertindas dan orang kaya sebagai pihak yang menindas. Dengan adanya
riba menyebabkan eksploitasi kekayaan oleh sikaya terhadap simiskin. Modal
besar yang dikuasai oleh the haves tidak tersalurkan kepada usaha usah yang
produktif. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bias
mengakibatkan keretakan rumah tangga jika sipeminjam tidak mampu membayarnya.
BAB. II.
PNUTUP
Kesimpulan
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.276. Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.277.
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.278.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.279. Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah
dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.280. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.281. Dan
peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu
semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan
yang Sempurna terhadap apa yang Telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun
tidak dianiaya (dirugikan).
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ali
as-Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr)
Muhammad Hasan al-Himshi. Al-Quran,
Mufrodat, Tafsir wa Bayan (Beirut: Dar al-Rasyid)
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, PT. Toko Gunung
Agung, Jakarta, 1987
M. Daud Ali, Kedudukan Hukum dalam Sistem Hukum Islam,
Jakarta, 1984.
MUI, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Pustaka Panjimas,
Jakarta, 1984.
Komentar
Posting Komentar