BAB. I
PENDAHULUAN
Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”.
Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori
Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari
tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa
de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai
“Double Entry Accounting System”.
Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah”
atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya
berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.
Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan
bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah
SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh
para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk
perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak
pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri
pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk
menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas
keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini
sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah
Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi,
dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh
kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut.
bab. ii
pembahasan
A.
pengertian Akuntansi Syari’ah
Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi
bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai
transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos
keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran
disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan
dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita,
sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran
menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat
181-184 yang berbunyi:
Artunya:
”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi
dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan
kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut,
menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal
pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur
kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan
keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang
dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya.
Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi
dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng
kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan
pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi
pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun”
sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kemudian,
sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran
di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana
digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah
takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah
yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa
kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai
kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari
sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang
Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran,
pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu
kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran,
Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa
tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah
Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan
dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai
dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang
berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
ANTARA Aliran Pragmatis DAN IDEALIS
Perkembangan akuntansi syari’ah saat ini menurut Mulawarman
(2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan
akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan
aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya.
Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan
teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.
2.1.
Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a)
menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan
dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001;
Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan
pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan
legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah.
Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan
akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial
Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59
atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya
dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada
tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian
berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada
pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas
terbatas.
Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan
keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk
laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca,
laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain
seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan
penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures
yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank
syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah.
Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan
ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak
dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah
mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syari’ah, sosial maupun lingkungan.
Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman
dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).
Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang
menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syari’ah di
Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping
membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis
laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan
responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya
manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank
syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan
yang sesuai standar AAOIFI.
Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian
praktik pelaporan tahunan perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia.
Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai
tujuan syari’ah (maqasid syari’ah). Tetapi ketika berkaitan dengan
laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun
Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syari’ah.
Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan
keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syari’ah. Pertama, hampir
seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim
menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi
perbankan syari’ah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang
mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syari’ah telah establish
dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish
ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan
Pengawas Syari’ah lebih menekankan formalitas fiqh daripada
substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli
syari’ah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah.
Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan
prosedur di lapangan.
2.2.
Akuntansi Syari’ah Aliran Idealis
Aliran Akuntansi Syari’ah Idealis di sisi lain melihat
akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima.
Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi
konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik,
sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling
dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006;
Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas
berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu
laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai
Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang
dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory
(seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam
PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004)
bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih
mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi
konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi
dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi
syari’ah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono
2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan
Willett 1994).
Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan
tujuan syari’ah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap
1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas.
Meskipun, dari sudut pandang syari’ah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b)
konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung
memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini
belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep
dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect
participants.
Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS,
Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate
ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima
pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct
participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct
stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan,
yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok,
pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang
tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq
(penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam
(misalnya untuk pelestarian alam).
2.3.
Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis
Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai
perbedaan antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis di atas
adalah, pertama, akuntansi syari’ah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep
dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi
teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca,
laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua,
akuntansi syari’ah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar
teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah
penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan
perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk
memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syari’ah aliran pragmatis dan
idealis, silakan lihat gambar berikut:
3. Proyek IMPLEMENTASI Shari’ate Enterprise Theory
Proses pencarian bentuk teknologis aliran idealis dimulai
dari perumusan ulang konsep Value Added (VA) dan turunannya yaitu Value
Added Statement (VAS). VA diterjemahkan oleh Subiyantoro dan
Triyuwono (2004, 198-200) sebagai nilai tambah yang berubah maknanya dari
konsep VA yang konvensional. Substansi laba adalah nilai lebih (nilai tambah)
yang berangkat dari dua aspek mendasar, yaitu aspek keadilan dan hakikat
manusia.
Terjemahan konsep VA agar bersifat teknologis untuk
membangun laporan keuangan syari’ah disebut Mulawarman (2006, 211-217) sebagai shari’ate
value added (SVA). SVA dijadikan source untuk melakukan rekonstruksi
sinergis VAS versi Baydoun dan Willett (1994; 2000) dan Expanded Value Added
Statement (EVAS) versi Mook et al. (2003; 2005) menjadi Shari’ate
Value Added Statement (SVAS). SVA adalah pertambahan nilai spiritual (zakka)
yang terjadi secara material (zaka) dan telah disucikan secara spiritual
(tazkiyah). SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai bentuk
konkrit SVA yang menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban distributif
saja (bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk
menyucikan bagian atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bagian bawah
SVAS (distribusi SVA).
SVAS lanjut Mulawarman (2006) terdiri dari dua bentuk
laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan Kualitatif yang saling terikat satu sama
lain. Laporan Kuantitatif mencatat aktivitas perusahaan yang bersifat
finansial, sosial dan lingkungan yang bersifat materi (akun kreativitas)
sekaligus non materi (akun ketundukan). Laporan Kualitatif berupa catatan
berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencatatan laporan pembentukan (source)
VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif. Kedua,
penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib
dikenakan zakat dan distribusi Zakat pada yang berhak. Ketiga,
pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak dapat
dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.
Persamaan Dan Perbedaan Antara
Akutansi Syari’ah Dan Akutansi Konvensional
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi
Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
- Prinsip pemisahan jaminan
keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
- Prinsip penahunan (hauliyah)
dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
- Prinsip pembukuan langsung
dengan pencatatan bertanggal;
- Prinsip kesaksian dalam
pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
- Prinsip perbandingan
(muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
- Prinsip kontinuitas
(istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
- Prinsip keterangan (idhah)
dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku
Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai
berikut:
- Para ahli akuntansi modern
berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi
modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok
(kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep
penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi
modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam
ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
- Modal dalam konsep akuntansi
konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap)
dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam
barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta
berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan
barang dagang;
- Dalam konsep Islam, mata uang
seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah
tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran
dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
- Konsep konvensional
mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua
kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat
mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara
penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku
serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
- Konsep konvensional menerapkan
prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan
juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan
antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal
pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan
pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta
menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama
fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha
atau dicampurkan pada pokok modal;
- Konsep konvensional menerapkan
prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep
Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan
dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang
belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan
laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara
sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh
soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat
aksiomatis.
Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On
Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang
dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme,
sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar
konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari
Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan
kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga
memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di
akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di
hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat
semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah
sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep
Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan
bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh
pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai
ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah
dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)
Daftar Pustaka
Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syari’ah: Rekonstruksi
Teknologi Akuntansi Syari’ah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana.
Jogjakarta.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007. Menggagas Laporan Arus Kas Syari’ah. Simposium
Nasional Akuntansi X. Unhas Makassar.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007. Menggagas Teori Akuntansi Syari’ah. Seminar
Akuntansi Syari’ah, Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi,
Universitas Negeri Malang
http://ajidedim.wordpress.com/2008/02/14/akuntansi-syariah-bagian-satu/
http://aharlibrary.wordpress.com/2007/03/15/mengenal-prinsip-akuntansi-syariah/
Komentar
Posting Komentar